Rongga Kecil di Sebuah Bangunan Besar


Kelompok kerja yang terbangun bukan saja atas penugasan dari negara, melainkan juga karena kebutuhan sebagai suatu gerakan kecil untuk sebuah perubahan menuju komunitas masyarakat pembelajar lintas batas.

Ada banyak komunitas di lantai 6, tetapi banyak orang percaya seolah-olah inilah penghuni resmi, yang dipersepsikan sebagai:

1. Kumpulan para utopia.
2. Kumpulan orang-orang yang tidak jelas statusnya.
3. Kumpulan para pemikir yang sok cerdas.
4. Kumpulan orang-orang biasa yang ingin punya manfaat bagi bangsa dan negara.

Apapun persepsi yang melekat, ruang kecil di lantai 6 memiliki aura menggoda anggotanya untuk selalu rindu berkumpul, berdebat, berbagi ilmu, wawasan dan idea yang siap dimanfaatkan bagi mereka yang membutuhkan.


Renstra Unhas


Visi
Pusat Pengembangan Budaya Bahari.
Pengembangan budaya secara implisit berarti menciptakan ruang bagi pengembangan Ipteks (Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni) yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dianut.

Misi
a. Menghasilkan alumni yang mandiri, berahlak dan berwawasan global.
b. Mengembangkan Ipteks yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya.
c. Mempromosikan dan mendorong terwujudnya nilai-nilai bahari dalam masyarakat.

Nilai
Unhas menganut sistem nilai yang menjamin kebebasan pengembangan diri yang adaptif-kreatif terhadap keserbautuhan wawasannya, terhadap kebermanfaatan perannya, dan terhadap perilaku keberbagian keberadaannya. mengupayakan perbaikan dan penyempurnaan dalam melaksanakan misi.

Tujuan
a. Berperan sebagai pusat konservasi dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang unggul;
b. Mewujudkan kampus sebagai masyarakat akademik yang handal yang didukung oleh budaya ilmiah yang mengacu kepada nilai-nilai Unhas;
c. Mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang relevan dengan tujuan pembangunan nasional dan daerah melalui penyelenggaraan program-program studi, penelitian, pembinaan kelembagaan, serta pengembangan sumberdaya manusia akademik yang berdaya guna dan hasil guna;
d. Mewujudkan Unhas sebagai universitas penelitian (research university);
e. Meningkatkan mutu fasilitas, prasarana, sarana dan teknologi serta mewujudkan suasana akademik yang kondusif serta bermanfaat bagi masyarakat untuk mendukung terwujudnya misi universitas;
f. Meningkatkan produktivitas dan kualitas luaran, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan pembangunan dan dunia usaha;
g. Memupuk dan mengembangkan kerjasama kemitraan dengan sektor eksternal khususnya pemerintah, dunia usaha dan industri serta dengan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga Ipteks lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri.

Selengkapnya >>>


Selasa, 09 September 2008

Citra, Belajar Meningkatkan Kualitas Selera

Baru jam 11 an, mailbox saya berdenting.
“Buku laporan rektor untuk dies natalis cantik, brilliant, untung bukan saya yang desain. Koq yang tampil foto Deddy Tikson dan Herman Parung? Mengapa bukan kamu?”
Merasa tak ada hubungan antara buku laporan dengan Deddy dan Herman, maka saya cuma menjawab bahwa saya tak ada urusan dengan foto-foto itu.
Sekitar jam 3 siang, pak Rusnadi masuk ke ruang Lantai 6 dengan wajah aneh. Dengan panjang lebar dia menggambarkan bagaimana penampilan buku tersebut. Melihat mimik mukanya yang sangat serius, kami yang berada di ruangan langsung berhenti bekerja. Awalnya kami mengambil kesimpulan bahwa pak Rusnadi berlebihan, mengingat dia suka bermain di wilayah hiperbola kalau bercerita. Merasa ceritanya tak mendapat tanggapan serius, dia meminta pegawai di lantai 4 untuk mengirimkan contoh buku ke Lantai 6.
Ketika melihat sampul buku tersebut, suara di Lantai 6 langsung senyap seperti dunia berhenti berputar. Buku itu menghapus jejak yang dibuat tim dengan begadang hingga menjelang sahur. Rasa terkejut, mual, marah tak berdaya bergabung menjadi satu. Kami saling berpandang-pandangan karena tak sanggup mengeluarkan kata. Buku yang tampilannya tidak saja aneh, tetapi juga tanpa “pesan tentang Unhas” bagi yang melihat.

Selera
Selera seseorang mewakili wawasannya, bukan sekedar kalimat basa-basi. Hal ini akan menjawab pertanyaan mengapa para politisi mau menyewa ahli poles wajah untuk tampil berbeda dalam kampanye pilkada. Kita lihat di mass media bagaimana para politisi tiba-tiba menampilkan aktifitasnya bersama rakyat kecil, bersama para petani, atau bersama pelaku pendidikan. Pesan yang ingin ditanamkan di benak orang bahwa para politisi itu adalah orang yang memikirkan rakyat. Agar misi pesan itu bisa sampai dengan optimal, ahli poles akan mengatur cara mereka berbicara, model pakaian, potongan rambut, cara mengerakkan tubuh dsb. Margareth Tatcher yang rambutnya terlalu terang dicat lebih gelap agar tampil lebih segar dan energik mengingat umurnya tidak muda lagi. Anak Lee Kuan Yew yang tentara dan berkesan konservatif mengubah penampilannya dengan berani menggunakan celana denim untuk menampilkan kesan moderat. Semua ini untuk tujuan menguatkan pengalaman menyenangkan penikmat sekaligus memperbaiki opini seseorang tentang barang yang akan dijual.
“Edit seleramu!”, komentar itu sering kita dengar ditujukan kepada orang-orang yang dianggap berselera tidak memadai. Di sisi lain, kita juga sering mendengar pernyataan; “Ah, itu kan cuma soal selera!”
Kedua pernyataan tadi, bisa tidak memberi dampak penting bila selera yang dimaksud itu hanya digunakan untuk kepentingan pribadi. Tetapi bila seseorang sudah mewakili kepentingan institusi, suka atau tidak suka image yang ditampilkannya bisa punya dampak positif maupun negative. Selera yang tidak baik bisa memberi gambaran institusi yang tidak baik.
Selera menampilkan cita rasa mutu. Ketika saya pertama kali masuk ke rektorat dan dimintai pendapat soal kebersihan Unhas, maka komentar pertama saya adalah Unhas tidak mungkin bersih kalau Kepala Rumah Tangganya tidak tampil sebagai orang yang bersih. Saya memberi contoh orang yang menampilkan image bersih misalnya pak Nelwan (saat itu belum almarhum).
Sebagai makhluk yang suka meniru selera seseorang bisa dipengaruhi oleh lingkungannya. Selera pribadi sebagai kesukaan perorangan , ditentukan oleh karakter individual yang dibentuk oleh pengalaman/ keterbiasaan masing-masing dalam lingkungannya. Selera pribadi orang biasa bisa saja berkualitas tanpa disadarinya bila cukup waktu berada di lingkungan dengan cita rasa yang baik. Dia punya kemampuan untuk melihat, memilih dan menempatkan sesuatu berdasarkan standar mutu yang baik, tanpa melalui pendidikan atau latihan tertentu.
Karena selera bisa ditularkan, maka berada didekat orang yang berselera baik bisa meningkatkan kualitas selera kita. Demikian halnya kita tidak dianjurkan untuk berlama-lama berada dekat mereka yang tak berselera baik, kecuali kalau kita yakin memiliki kemampuan untuk memberi perubahan ke a rah yang lebih baik.
Selera & Estetika
Berbeda dengan standar kualitas estetika bagi selera pribadi yang sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu (kontekstual), para filsuf umumnya berpandangan bahwa standar kualitas estetika sejatinya tetap selalu berpatokan pada adanya nilai keharmonisan, keserasian dan keselarasan. Keharmonisan, keserasian dan keselarasan yang merupakan keutuhan / kesatuan (unity) dari komposisi suatu karya hanya bisa tercipta bila ada keseimbangan (balance), irama (ritme), skala (scale) dan aksen (accent) dari obyek tersebut. Unsur-unsur ini tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan selalu berkaitan satu sama lain. Berbicara tentang elemen-elemen tersebut akan ditentukan oleh pengetahuan kita tentang proporsi, simetri/asimetri, terang gelap, pola, tekstur hingga warna. Kepiawaian dan cara memainkan hubungan-hubungan berbagai elemen, membuat suatu karya selalu spesifik berbeda dengan yang lain. Perbedaan ini yang membuat identitas seorang desainer tampil tidak sama dengan desainer yang lain.
Semua rumus-rumus ilmu tentang estetika dapat dipelajari di kelas bahkan sekarang sudah banyak program komputer yang siap diaplikasikan. Sayangnya keberhasilan untuk menampilkan kualitas yang baik tidak sekedar seperti mata pelajaran matematik. Sebab bila modalnya cukup menggunakan mesin, maka hanya dengan keahlian menggunakan komputer, semua orang bisa menghasilkan karya estetis. Estetika membutuhkan lebih dari sekedar rumus! Dia membutuhkan kepekaan rasa dan emosi yang bermain saat meditasi sebelum otak ini bekerja mendefinisikan suatu karya melalui riset menghubung-hubungkan elemen yang satu dengan yang lain.
Publikasi
Desain adalah bahasa simbol atau lambang, yang menampilkan pesan dan makna bagi pencipta maupun penikmat yang dituju. Maka ketika Unhas membuat publikasi agar orang mengenal dirinya atau ingin meningkatkan apresiasi orang kepada Unhas, terlebih dahulu seorang desainer/pengarah gaya (stylish) harus mengetahui dan mengenal dengan pasti apa dan siapa Unhas itu.
Pada acara diskusi dengan pimpinan Unhas di Ruang Rapat A bertema visi universitas, David William menyatakan pentingnya untuk membumikan nilai-nilai yang dianut Unhas. Sebelumnya David cukup terkesima dengan konsep yang tertuang pada renstra Unhas, mengingat semua harapan dan impian sudah dicantumkan dengan jelas dan indah. Persoalannya pada pesan yang belum disampaikan dengan baik kepada seluruh pemangku kepentingan. Bahkan ketika berbicara tentang ”shared value” sebagai roh dari renstra, sebagian besar peserta diskusi tidak mengerti apa yang dimaksud. Belajar dari Fred Hilmer dengan kesuksesannya menakhodai UNW, ”shared value” adalah pengikat semua komponen manajemen untuk mencapai visi. Untuk alasan inilah maka konsep nilai Unhas wajib dihembuskan dengan serius dalam laporan rektor yang disajikan di hadapan Rapat Senat Luar Biasa Unhas pada acara Dies Natalis. Karena alasan ini pula, konsep tentang jati diri Unhas yang tertuang dalam renstra diposisikan terletak pada halaman dalam sampul depan laporan sebelum pengantar dari rektor, dengan asumsi bahwa pembaca akan punya bayangan sebelum masuk ke bab yang membahas apa yang ingin dan telah dilakukan Unhas.
Fokus isi laporan ditujukan pada aktifitas yang telah dilakukan Unhas untuk mendukung visi pimpinan tentang cita-cita ke arah world class university. Pada masa kini saat dimana-mana rakyat lelah dengan janji, mereka hanya menuntut aksi. Kami butuh bukti bukan janji! Harapan itulah yang sering kita dengar. Karena itu foto-foto gaya, jabat tangan dengan orang penting dan semacamnya tidak laku lagi. Kita lihat para politisi mendesain aktifitas pura-pura untuk memperlihatkan bukti bahwa mereka telah melakukan sesuatu.
Jauh hari sebelum tim bekerja menyusun materi laporan, pekerjaan mengumpulkan dokumentasi aktifitas telah dilakukan dengan serius. Kami tidak ingin foto yang ditampilkan merupakan hasil rekayasa, sebab bila dibaca oleh orang yang mengerti, dapat ditafsirkan bahwa aktifitas itu palsu. Kalau kita perhatikan publikasi institusi pendidikan di seluruh dunia, sudah pasti yang ditampilkan adalah aktifitas yang berkaitan dengan kepentingan akademik, karena itu adalah bisnis utama institusi.
Selain mengatur strategy tentang materi laporan, tim juga membahas penampilan wajah fisik laporan. Trend gaya atau style selalu dipengaruhi oleh dinamika lingkungan. Bukan kebetulan tiga tahunan lalu ada trend warna ungu misalnya. Sebab pada saat itu dunia dilanda bencana diberbagai penjuru dunia. Warna ungu adalah simbol keillahian, digunakan orang agar kita kembali mengingat bahwa kita ini sekedar ciptaan yang sudah waktunya menundukkan kepala kembali. Atau mengapa ibu rumah tangga ramai-ramai menginginkan gaya minimalis bagi rumahnya walau tak tahu artinya. Minimalis itu mewakili simbol kesederhanaan, menunjukkan kesadaran untuk tidak ikut-ikutan larut dalam kekacauan dunia. Kalau dikaitkan dengan konsistensi, maka menjadi lucu bila restoran kari kambing yang sarat bumbu tampil di restoran minimalis. Gaya minimalis hanya cocok untuk jenis kuliner yang praktis seperti makanan cepat saji misalnya. Kita juga melihat pemilihan huruf dalam desain perwajahan masa kini menggunakan bentuk-bentuk tampilan yang lebih ringan dan sederhana. Bentuk bold yang dulu laku berat, saat ini dianggap jadul.
Dalam konteks publikasi media, saya sering mengingatkan kepada mahasiswa dan teman-teman termasuk saat membawakan materi membuat desain presentasi di SCL, bahwa tujuan utama kita adalah menyampaikan pesan pemikiran kita, bukan mengumumkan keahlian menciptakan bentuk huruf, membuat animasi yang mengagetkan dan berbagai ketrampilan lain. Kalau tokh itu dibutuhkan, jangan sampai pameran keahlian itu justru menutup ruang orang untuk menyimak dengan baik pesan yang ingin kita sampaikan. Kecuali kalau kita memang ingin menyembunyikan ketidak mampuan membuat materi pesan dan berharap penikmat cukup terkesima dan tidak memperhatikan isi materi.
Simbol-simbol yang ingin ditampilkan secara visual dalam buku laporan, diharapkan mewakili jati diri Unhas. Banyak orang mengartikan simbol secara vulgar. Misalnya ketika ingin menampilkan budaya bahari, maka seolah-olah cukup dengan menampilkan perahu. Atau ketika ingin menampilkan world class university, maka yang digambar bola dunia. Standar kualitas suatu karya seni lebih tinggi dari sekedar berbicara tentang elemen estetika. Dia membutuhkan tingkat kerumitan dan kehalusan. Dua hal ini bisa tampil dalam konsep simbol atau lambang secara visual. Walaupun karya seni juga merupakan mimicri (imitasi) dari sesuatu yang natural, tetapi menampilkan dalam bentuk copy paste untuk simbol tidak dianggap suatu keberhasilan.
Ruang Senat dan Ruang Rapat A didesain dengan simbol transparansi. Dibahasakan dengan tidak mengada-ada, tidak berliku-liku, tidak menyembunyikan sesuatu. Ketika pak Rady merasa telanjang ketika duduk di meja ruang senat, memang efek itulah yang ingin ditimbulkan. Transparansi menuntut kerapihan dan kesempurnaan pekerjaan. Mereka yang terbiasa tidak rapih dalam bekerja selalu risih bila aktifitasnya bisa diteropong dari jauh. Contoh transparansi juga bisa dilihat pada lembaga keuangan modern. Dahulu semakin tebal dinding wajah depan suatu bank, semakin menunjukkan tingkat keamanan uang nasabah yang disimpan. Saat ini nasabah butuh keyakinan bahwa uang mereka dikelola dengan manajemen transparan dan tidak disalah gunakan oleh pengelola bank dalam bisnis ilegal.
Penutup
Contoh-contoh di atas cukup untuk menjelaskan bahwa desain wajah laporan rektor yang bukan sekedar majallah melainkan merupakan dokumentasi resmi, harus bisa mewakili harapan dan keinginan untuk memperkenalkan jati diri, menanamkan image kepada publik tentang institusi kita. Buku ini jelas bukan sekedar album kenangan, melainkan dokumen yang memuat catatan apa yang kita rencanakan, apa yang telah kita buat dan apa yang masih harus kita lakukan di masa depan. Sayang sekali tak satupun teori tentang desain yang baik dipenuhi oleh buku tersebut. Kalau tokh ada pesan yang sampai ke penikmat, maka yang ada adalah pesan kekacauan. Mungkin benar, kita tak selalu bisa menyembunyikan wajah kita! (tm)

Jumat, 15 Agustus 2008

Diskusi Filosofi Otonomi

Diskusi akhir pekan Jumat, 15 Agustur 2008 dengan David Williams difokuskan pada otonomi universitas dan peran pimpinan dalam menghela sebuah perubahan. David menganalogikan otonomi dengan situasi dimana seorang anak yang yang merasa sudah dewasa, mampu bertanggungjawab dan ingin lepas merdeka dari kekangan orang tuanya. Di sisi lain, orang tua merasa anaknya belum mampu untuk merdeka bertanggungjawab bagi dirinya sendiri. Anak itulah universitas, sedangkan orang tua adalah pemerintah.

Diskusi dengan David hari ini membuat kami tersenyum kecil, karena kami merasa "deja vu", baik suasana maupun topik yang mengingatkan suasana empat-lima tahun yang lalu. Pandangan-pandangan David mirip kalau tidak mau dikatakan persis dengan pandangan Mappadjantji. Bedanya hanya David selalu menekankan pada pilihan "mengantisipasi perubahan yang bakal terjadi", sedangkan Mappadjantji lebih jauh menganjurkan untuk " mengkreasikan perubahan dan tidak menjadi sekedar pengikut". Entah siapa yang nyontek siapa atau siapa yang lebih dulu membaca buku atau sama-sama punya kemampuan melihat ke depan. Artinya bahwa terbukti pandangan beberapa orang Unhas untuk masa depan universitas ini tidak tertinggal dibanding dengan pandangan dunia luar.
Meskipun tema diskusi yang diagendakan adalah otonomi universitas, namun diskusi akhirnya lebih fokus pada manajemen perubahan. Ketika otonomi menjadi sebuah keniscayaan --apakah karena UU menghendaki demikian (instrumental), atau dinamika lingkungan strategis yang memaksa harus otonomi (environmental), maka issunya bukan lagi pada perlu atau tidaknya otonomi tetapi bergeser menjadi bagaimana mengelola perubahan (change management).

Dalam mengelola perubahan, kata David, harus dimulai dari pimpinan. Keinginan untuk berubah itu selanjutnya perlu ditularkan ke seluruh anggota organisasi. Mappadjantji sering menyebutnya dengan harus terbentuk "medan visioner" di lingkungan seluruh anggotam organisasi agar semua terorientasi mendukung visi atau target perubahan yang ingin dicapai. Dalam melakukan aktivitas menuju pencpaian target, pimpinan harus "lead" di depan. Jadi, sungguh-sungguh menjadi "leader".

Salah satu point penting yang disampaikan oleh David adalah tidak semua hal harus dikompromikan. Dia memberi contoh bagaimana Rektor UNSW pada hari ke-lima dia berkantor, memanggil dua dekan, dan menyampaikan rencananya menggabungkan AGSM (Australian Graduate School School in Management) dan Faculty of Economics and Commerce (FEC) menjadi satu unit. Kedua dekan ini tentu saja tidak setuju, mengingat AGSM telah memiliki segalanya sebagai salah satu sekolah manajemen terbaik di Australia. Tetapi, sang Rektor tetap bersikukuh dengan rencananya. Fred Hilmer, si Rektor mengatakan "this my way to lead, you may come along with me or leave it". Bersama dengan timnya, dia segera memimpin penyusunan langkah-langkah strategis dan implementation plan penggabungan dan mensosialisasikan keuntungan-keuntungan penggabungan tersebut. Tidak cukup setahun setelah penggabungan itu, program manajemen di NSW telah direcognize oleh International Bussiness Association sebagai salah satu yang terbaik di dunia dan mampu menyerap tambahan dana dari dunia bisnis sebesar 700 juta USD.
Contoh di atas tentu tidak ingin menafikan pentingngya dialog dan partisipasi dalam merumuskan visi dan membangun komitmen bersama. Point yang ingin ditegaskan adalah bahwa untuk sebuah perubahan dibutuhkan pemimpin yang tidak saja mengumandangkan dengan lantang ke arah mana tujuan organisasi, tetapi juga berdiri di depan menunjukkan jalan yang harus diikuti.(rp)

Selasa, 12 Agustus 2008

Ketika EPSBED Diabaikan

Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri (EPSBED), dua tahun terakhir ini menjadi hantu menakutkan bagi Unhas. Gara-gara laporan Epsbed ke Dikti meliputi seluruh program studi tak kunjung mencapai 80%, akibatnya Unhas tak bisa lagi ikut program hibah kompetisi. Daftar program studi yang tak melengkapi data-data mereka dapat dilihat di http://evaluasi.or.id/profile-univ-detail.php?specProf=0&schoolID=001005&schoolName=UNIVERSITAS+HASANUDIN.

Dari uraian di atas, pelajaran penting yang bisa dipetik adalah sistem administrasi di universitas sebesar ini masih dianggap tidak penting. Berkali-kali program studi diingatkan untuk selalu memperbaharui data yang berkaitan dengan data kemahasiswaan, dosen, index prestasi dan lainnya, yang sesungguhnya merupakan bagian dari kegiatan rutin staf, tetapi data beberapa program studi tak kunjung terbaharui. Bagi program studi yang aktif melaporkan Epsbed ikut menanggung kerugian kehilangan kesempatan untuk mengikuti kompetisi-kompetisi seperti PHKI yang memiliki prestise dalam dunia pendidikan tinggi di Indonesia saat ini.

Epsbed sebenarnya bukan sekedar laporan semata, karena dengan evaluasi diri yang baik Unhas akan memiliki landasan yang rasional dalam pengembangan diri. Perencanaan-perencanaan dapat dibangun dengan baik jika evaluasi diri melalui Epsbed dilakukan dengan benar.(jm)

Senin, 11 Agustus 2008

Kasus Harvard

oleh: WJA Misero

“Pada suatu petang di akhir Februari 2005, Lawrence H. Summer, Rektor Universitas Harvard, berdiri di dekat jendela kantornya memandang lapangan kampus yang masih tertutup salju. Tubuhnya penat, hatinya galau, dan pikirannya kalut. Agenda perubahannya ditentang oleh sebagian warga kampus. Agenda ini meliputi keinginan untuk membekali setiap mahasiswa dengan sain dan teknologi, meningkatkan waktu interaksi dosen-mahasiswa, memperbesar jumlah mahasiswa dari keluarga miskin dan menengah, dan membangun kampus baru di seberang Sungai Charles, Boston. Selain dari perubahan kurikulum dan perluasan kampus, sebagian dari alasan penolakan berasal dari gaya kepemimpinannya yang autokratik.“

Bila masalah pembaruan Harvard ditulis sebagai suatu kasus manajemen, alinea di atas merupakan rekaan pembukaannya. Penulisnya mungkin seseorang dari Sekolah Bisnis Harvard yang teramat kondang dengan pembelajaran kasus. Tidak lazim, seorang Harvard menulis Kasus Harvard. Tetapi, ini bukan suatu keanehan. Peristiwa manajemen selalu terjadi di mana saja dan di sepanjang sejarah. Mungkin terdapat yang mirip tetapi pasti tidak sama. Antara peristiwa-peristiwa ini terdapat sulawan (paradox): tidak ada yang baru, tetapi selalu ada yang usang. Sumbernya adalah kompleksitas. Tidak ada kasus yang sederhana. Karenanya, pengalaman dapat dijadikan acuan, tetapi tidak dapat diulangi karena pengulangan akan menjadi pengalaman baru yang berbeda dari pengalaman sebelumnya.

Lawrence H. Summer pastilah seorang yang cerdas. Ia tercatat sebagai profesor termuda yang diangkat oleh Harvard dan termasuk anggota tim Presiden Clinton. Tetapi, manajemen bukan sekedar “common sense” belaka, melainkan “common sense” yang mengacu kepada konsep teoritik. Buat Summer tersedia paling sedikit: manajemen perubahan, manajemen kultur organisasi, kepemimpinan, manajemen komunikasi, dan manajemen partisipatif.
Acuan teoritik ini selanjutnya akan membawa Summer kepada sejumlah pilihan. Untuk sekedar menyebutkan beberapa di antaranya: tetap pada gaya kepemimpinan autokratik atau berubah ke gaya pemimpin para pemimpin; memaksakan perilaku baru dalam rangka mengubah kultur organisasi atau memperkenalkan perilaku baru yang merupakan pengwujudan baru dari kultur organisasi lama; dan paling utama merealisasi agenda dan menunda penyelesaian konflik atau menyelesaikan konflik sebelum menjalankan agenda.

“Summer melihat sejumlah lintasan jejak kaki yang berimpit, sejajar, dan yang saling berpotongan pada lapangan berselimut salju tebal itu. Ia berharap pada saat ia menyeberangi lapangan menuju ke tempat parkir, ia akan memilih sebuah lintasan rujukan yang tepat sehingga ia tak tergelincir dan terjatuh. Keputusannya adalah segera pulang, sebelum gelap datang.”

(Makassar, 26 Juli 2005)

Minggu, 10 Agustus 2008

Lokakarya Manajemen SDM Unhas

Good objective criteria melalui SMART Objective --> specific, measurable, action state, result focuse, time limited.

Contoh:

Implement (A) a recruitment policy & process (S) applicable for all (M) staf based on capability analysis (M) by end of December 08 (T) to entrance the right people right job principle (R).

"Tujuan aktifitas yang baik" adalah salah satu materi yang diberikan oleh David Williams, dalam lokakarya manajemen SDM Unhas yang diadakan pada Senin, 11 Agustus 2008, bertempat di Ruang GDLN Gedung PKP. Ide untuk mengadakan lokakarya berasal dari pimpinan dan akan dilangsungkan di Ruang A Gedung Rektorat. Acara dipindahkan mendadak ke GDLN, karena ada acara yang dianggap lebih penting, yaitu menerima tamu dari Meio University. Beruntung perubahan ruang ke gedung lain yang mendadak tidak menyurutkan niat peserta untuk tetap mengikuti acara lokakarya.
Peserta lokakarya adalah seluruh Pembantu Dekan II dan staf yang berkaitan dengan bidang keuangan, personalia dan perlengkapan Unhas. Acara ini benar-benar memfokuskan waktu ke materi acara dan lepas dari semua hal yang berbau seremonial. David mewajibkan semua peserta terlibat dalam diskusi kelompok. PR4 yang tidak terlibat ditegur untuk tidak menjadi penonton dan wajib masuk dalam aktifitas kelompok. Peserta juga diwajibkan untuk tidak berkumpul dalam kelompok dengan latarbelakang bidang yang sama.

David sangat menekankan pentingnya visi dan misi universitas untuk bukan sekedar hanya dipahami, tetapi ikut aktif untuk mewujudkan ketercapaiannya. Unhas juga diharapkan tidak menjadikan peraturan pemerintah sebagai alasan untuk menutupi kekurangannya dalam bersaing menjadi yang terbaik. Selain itu Unhas hendaknya sadar untuk berlari cepat mengejar ketertinggalan dan tidak justru tetap dalam situasi slow motion.

Sayang sekali staf dari bagian keuangan hanya diwakili oleh Mardani dan tidak diminati oleh staf keuangan yang lain. Tidak diminatinya pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan peningkatan kompetensi, mungkin disebabkan karena kompetensi tidak dijadikan salah satu kriteria untuk menduduki suatu jabatan. Beda dengan pendidikan kepemimpinan seperti Lakip atau Lemhanas, yang diperebutkan oleh semua staf bahkan dengan mengorbankan apa saja.-

Selasa, 05 Agustus 2008

Bimbingan Teknis Manajemen SDM

Tanggal 4-19 Agustus 2008, David Williams dari "Kurtis Paige Initiatives Consultant" dari Sydney akan memberi bimbingan teknis kepada tim pembuatan sistem dan prosedur manajemen SDM universitas. Latar belakang David yang selama ini menjadi partner dari berbagai perguruan tinggi di Australia, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi Unhas. Kita ketahui sepuluh tahunan lalu, kondisi perguruan tinggi negeri di Australia mirip-mirip dengan Indonesia. Misalnya, organisasi yang relatif besar dengan staf senior yang sulit berubah dan tidak ingin kinerjanya dinilai. Kualitas David dengan tarif honor $3.000 / jam di Australia sangat tidak diragukan lagi. Di Unhas melalui Proyek I-Mhere yang dibiayai World Bank, David dibayar jauh lebih rendah, tetapi karena keinginannya yang besar untuk membantu dan berkunjung ke Indonesia, membuatnya bersedia menerima tawaran Unhas. Yang bersangkutan memberikan bimbingan dengan bahasa yag sederhana, fokus kepada masalah, mudah dicerna oleh tim.

Kehadiran David selama 2 (dua) minggu juga akan dimanfaatkan dengan baik oleh pimpinan Unhas untuk memberi pencerahan terutama bagi para pejabat terkait agar memiliki wawasan yang memadai tentang pengembangan SDM universitas.

Selasa, 29 Juli 2008

Kuda Penunggang

oleh : WJA Misero

Matahari tampak penat menyusuri langit dan telah berada di pinggir gurun untuk mengaso. Serombongan manusia dan kuda mereka juga lelah dan harus berhenti untuk beristirahat di sebuah lembah kecil. Tiga hari telah habis terbuang percuma hanya hilir mudik mencari ujung gurun. Bibir tak berbekas senyum, mulut kehilangan kata manis, yang tertinggal hanya gagasan kosong di otak dan gundah di hati. Asa pun semakin sirna.

Keesokan paginya, kegiatan rombongan dimulai dengan sebuah pertemuan dengan agenda tunggal, arah perjalanan hari itu. Hampir dua jam dihabiskan hanya dengan perbincangan dan perdebatan yang tak berujung sebuah keputusan. Keputus-asaan semakin memuncak. Pada saat itulah tiga ekor kuda mengambil prakarsa. Kuda pertama berkata dengan sopan,
“Tuan-tuan, mohon maaf. Anda semua belum sepakat tentang arah perjalanan, sementara persediaan minuman dan makanan semakin menipis. Karena itu, perkenankan kami, para kuda, untuk memimpin rombongan ini.”
“Astaga! Apalah kata Naga Bonar jika demikian adanya,” kata orang yang merasa pimpinan rombongan. “Sungguh pongah! Apakah kuda-kuda tidak pernah tersesat? Kata orang lain yang juga menjagokan diri sebagai pemimpin.
“Tuan-tuan, jika Anda pernah menonton film tentang rombongan kuda di layar kaca, maka demikianlah adanya. Kami tidak pernah tersesat kecuali jika kami ditunggangi manusia,” jawab kuda kedua. Orang lain yang juga sering mengaku pimpinan bertanya,
“Jika usul kalian kami terima, apakah kami akan ditunggangi para kuda?”
“Tentu saja tidak, Tuan,” jawab kuda ketiga.
“Kami memiliki prikekudaan, kami akan berjalan –tidak berlari- di depan dan Tuan-tuan dipersilahkan berjalan di belakang sambil berpegang pada ekor-ekor kami.”
“Saudara-saudara, saya pikir usulan kuda-kuda kita terima saja. Tetapi jika hari ini mereka tidak berhasil memandu kita ke pinggir gurun, maka mereka semua kita bunuh. Setuju?” usul orang yang lain lagi. Tidak ada setuju yang gempita, tetapi orang-orang berjalan menyeret dirinya sendiri mengikuti kuda-kuda. Sore itu, mereka tiba di sebuah desa di pinggir gurun.

Adalah dua praktisi periklanan, Al Ries dan Jack Trout, yang mengibaratkan perusahaan sebagai kuda dan orang (karyawan) sebagai penunggang. Mereka mengajurkan kepada orang untuk mengganti kuda bila kuda tersebut tidak tidak mampu membawa ke tujuan. Kuda seperti ini hanya membuat orang tersesat dan menjadi pecundang seumur hidup. Ries dan Trout benar jika yang menjadi isu adalah karier perorangan. Akan tetapi, jika isunya adalah karir bersama dari sejumlah orang yang menggabungkan diri dalam sebuah perusahaan, penunggangan kuda akan melahirkan kekacauan arah dan tindak. Setiap orang akan merasa menjadi pemimpin dan mengarahkan perusahaan ke tempat yang berbeda dari arah yang dituju oleh orang-orang lain. Perusahaan akan berputar-putar di satu tempat saja, tersesat dan menjadi pecundang. Dalam sebuah perusahaan, pikiran Ries dan Trout harus dibalik. Apa pun kata Naga Bonar, orang-orang dalam sebuah perusahaan harus bersedia ditunggangi. Perusahaan bukan kuda tunggangan tetapi kuda penunggang.

(Makassar, 1 Oktober 2005)

Owen Sangkala

oleh: WJA Misero

Tanda kekesalan di wajahnya belum hilang semuanya ketika Owen memberi salam kepada ayahnya yang sedang duduk santai di teras rumah petang itu. Dua titik peluh akibat berjalan kaki dari bengkel ke rumah ayahnya dan jejak alirannya terlihat jelas di pipinya. Sebelum ia sempat menjatuhkan tubuhnya di kursi dan sebelum mulutnya terbuka untuk melontarkan kata pertamanya, ayahnya telah menawari untuk pergi membasuh wajahnya sementara ayahnya memintakan secangkir kopi baginya.

Selepas mencuci muka, Owen kembali ke teras dengan wajah yang mulai berseri. Senyumnya agak terkuak saat ia melihat ibunya sedang meletakkan dua cangkir kopi dan sepiring pisang goreng di atas meja. Menatap mata ibunya yang memancarkan keteduhan, kekesalannya perlahan-lahan memudar.

“Terima kasih, Bu,” katanya dengan senyum yang semakin melebar.
“Mobilmu rusak lagi, ya?” tanya ayahnya setelah membiarkan Owen menghabiskan sepotong pisang goreng dan beberapa tegukan kopi.
“Benar, Yah,” jawabnya singkat.
“Menurut pemilik bengkel, ini adalah akibat keterlambatan penggantian oli. Ia menganjurkan agar Nurdin dipecat saja,” kata Owen dengan nada semakin meninggi.

Sebelum kekesalan Owen muncul kembali, ayahnya segera memotong dengan berkata,
“Pantas Nurdin tidak ikut kemari. Kau telah bertindak bijak dengan menyuruhnya pulang. Dia belum dipecat, bukan?”
“Belum, Yah. Karena ia adalah supir usulan Ayah, saya perlu meminta pertimbangan Ayah,” jawab Owen.
“Bagus. Kalau begitu kita masih punya waktu,” sahut ayahnya.

Sambil menatap Owen dengan lembut, ayahnya berkata,
“Owen masih ingat alasan usulan Ayah, kan? Nurdin adalah anak sulung Pak Dahlan, supir kita dulu yang sangat baik dan setia. Ayah tidak perlu menjelaskannya lebih jauh. Sekarang, Ayah ingin menjawab protes yang Owen kemukakan ketika berada di SD kelas satu. Waktu itu, teman-temanmu mengolok-olok namamu. Owen Sangkala, nama yang aneh!”
Owen lalu bertanya dengan tidak sabar, “Mengapa Ayah memberi nama demikian? Dulu alasan Ayah adalah bahwa nama ini Ayah dapat selama belajar manajemen di Inggris.”
“Nama Owen yang Ayah berikan kepadamu berasal dari seorang pionir manajemen yang bernama Robert Owen yang hidup pada masa awal revolusi industri. Ia adalah pelopor dari tokoh-tokoh lain yang menaruh perhatian pada sumberdaya manusia organisasi bisnis. Pendapatnya mungkin seperti ini. Jika mesin sebagai benda mati dirawat, dibersihkan dan diperbaiki agar dapat digunakan secara optimal, maka manusia sebagai mahkluk hidup seharusnya diperlakukan lebih baik agar mampu bekerja secara optimal pula,” kata Ayah.
“Ayah berharap bahwa dengan menyandang namanya, pikiran yang sederhana tetapi cemerlang dan mulia seperti ini menjadi pikiranmu pula dan mampu Owen wujudkan.”
“Sekarang, apakah Owen sudah meminta Nurdin untuk … “
Sebelum ayahnya melanjutkan ‘kuliah’, Owen memotong, “Sudah cukup, Ayah. Ayah jangan lupa bahwa ada Sangkala juga dinamaku. Walaupun bukan profesor, dalam diri Owen pasti tertinggal sedikit kepandaian Ayah, kan?

Petang itu, di teras itu, ada tawa yang meledak yang berakhir dengan senyum yang merekah lebar. Ketika itu, manusia memperhatikan manusia bukan benda saja.

(Makassar, 30 September 2005)

Sabtu, 26 Juli 2008

Manajemen Aset

Manajemen aset yang baik merupakan siklus pengelolaan sejak perencanaan, pengadaan, pencatatan, penyimpanan, pemanfaatan, pemeliharaan, pemutakhiran hingga penghapusan. Dengan demikian informasi tentang keberadaan, nilai dan kondisi tentang asset dapat dijadikan landasan dalam membuat kebijakan yang tujuannya tak lain adalah mendukung Unhas dalam mencapai visi dan misinya.

Hingga saat ini sistem pengelolaan aset yang dilakukan universitas baru sebatas pada sistem informasi pencatatan jenis dan harga barang saat serah terima barang dari pemasok. Energi terbesar dalam sistem pengelolaan dihabiskan pada proses pengadaan yang menyita waktu karena harus memenuhi sekian banyak peraturan yang disyaratkan bagi institusi pemerintah. Kelemahan yang terjadi adalah bahwa perhatian kemudian hanya terfokus pada kelengkapan dokumen administrasi, sekedar untuk tujuan menjawab keinginan tim audit negara, tetapi belum kepada filosofi yang paling penting dari proses pengadaan barang itu sendiri yaitu manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan universitas, kualitas optimal dan harga seefisien mungkin.

Beberapa contoh dapat ditampilkan untuk menunjukkan fakta tentang system pengelolaan aset Unhas. Melalui data yang diperbaharui tahun 2005, diketahui bahwa ketersediaan ruang kuliah di Unhas telah cukup memadai, yaitu 0,86 m2/mhs, lebih besar dari yang disyaratkan Kepmendiknas No. 234/U/2000 (0,5 m2/mhs). Demikian pula halnya dengan ruang dosen, yaitu 3,58 m2/dosen, masih sedikit lebih rendah dari standar yaitu sebesar 4.0 m2/dosen. Untuk laboratorium, diperoleh rasio sebe­sar 1,07 m2/mhs, lebih kecil dari yang disyaratkan (2,00 m2/mhs). Ruang staf administrasi >10,00 m2 jauh di atas standar 4,00 m2 / staf. Dari informasi ini bisa kita simpulkan bahwa tidak ada masalah dengan ketersediaan ruang kuliah. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa beberapa fakultas sepert Teknik, Ekonomi dan Kedokteran, tingkat penggunaan ruangannya bisa >100% bila laboratorium tidak dimanfaatkan sebagai ruang kuliah. Sebaliknya Kedokteran Gigi dan Hukum tingkat penggunaan hanya sekitar 13-50%. Artinya ada cukup banyak ruang yang belum digunakan secara optimal karena sistem penggunaan barang kita tersegmentasi per fakultas / unit kerja dan tidak dimanfaatkan bagi kepentingan bersama Unhas sebagai satu entitas. Informasi lain yang juga bisa didapat adalah bahwa perhatian terhadap kepentingan fasilitas ruangan bagi dosen belum direncanakan dengan baik dibanding dengan perhatian berlebihan terhadap kepentingan staf administrasi. Yang paling penting dari semuanya adalah bahwa yang perlu dilakukan Unhas saat ini ternyata bukan membangun gedung baru karena fasilitas gedung kita sudah lebih dari cukup kecuali untuk laboratorium. Yang perlu dilakukan hanyalah memelihara dan mengatur agar fasilitas gedung-gedung yang ada tetap bisa berfungsi dengan optimal.

Dari data lapangan yang lain juga diketahui bahwa cukup banyak aset universitas yang dengan mudah hilang dari daftar barang. Renovasi Ramsis 2007/2008 menunjukkan pada kita bahwa konsultan bekerja tanpa kendali memadai dari pengelola. Hal ini tercermin dari penggantian rangka atap kayu kualitas I menjadi kualitas yang lebih rendah rangka baja ringan. Akibatnya kayu senilai ratusan juta yang masih dalam kondisi prima terbuang percuma untuk kepentingan pribadi oknum tertentu. Hal yang sama juga terjadi pada barang lain yang tak terdata seperti pohon yang ribuan jumlahnya dan tersebar di lahan kampus atau koleksi foto dan lukisan bersejarah, yang jumlahnya relatif banyak.

Menyadari kondisi sistem pengelolaan aset Unhas, tahun 2005 salah satu aktifitas Kantor Persiapan BHP-Unhas adalah menyiapkan sistem inventarisasi data aset bagi tujuan asset information system secara online yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan. Seluruh aset fisik di kampus Tamalanrea telah didata secara terinci dalam format gambar dwg. Data ini akan dikoneksikan dengan data keberadaan barang, ketersediaan ruang bagi penyelenggaraan perkuliahan, keberadaan SDM (meliputi lokasi mengajar dosen, sarana prasarana dan kegiatan yang dilakukan). Sebagian sistem yang diuraikan telah terkomputerisasi, namun demikian seluruh sistem ini masih tersegmentasi atau belum terpadu.

Keikut-sertaan Universitas Hasanuddin dalam Proyek INHERENT telah menghasilkan suatu sistem pengelolaan aset terkomputerisasi akan tetapi belum dimanfaatkan karena masih dalam tahap pengisian data. Informasi aset yang dapat diakses oleh para dosen mahasiswa berbentuk daftar inventaris ruangan yang berada di setiap ruang. Dosen dan mahasiswa dapat memanfaatkan sarana dan prasarana bagi kegiatan kurikuler dan kokurikuler dengan menghubungi secara langsung unit terkait yang menjadi penanggungjawab pengelolaan sarana dan prasarana yang mereka butuhkan.

Kesadaran terhadap kebutuhan akan sistem pengelolaan aset yang lebih memadai dan lebih sesuai dengan kondisi institusi telah mendorong Universitas Hasanuddin untuk mengajukan proposal dan memenangkan Proyek I-MHERE. Sebagai pelaksanaan proyek I-MHERE, Universitas Hasanuddin menamakan sistem pengelolaan sarana dan prasarananya nanti sebagai “Total Asset Management”. Saat ini Universitas Hasanuddin telah memiliki naskah Kebijakan Manajemen Aset dan sedang menantikan pengesahannya oleh Senat Universitas dalam waktu dekat ini.

GDLN - Bukan Sekedar Kemewahan

Awalnya Global Distance Learning Network (GDLN) Unhas tercipta sama sekali tanpa dukungan birokrasi universitas. Fasilitas teleconference senilai 5M saat dibangun tahun 2004-2005 hingga kini diakui masuk kategori kelas atas diantara para universitas penyelenggara dalam negeri (UI, Unud, Unri dan Unhas) maupun luar negeri yang dibiayai oleh World Bank. Sayang sekali kemewahan ini cukup lama tertidur tanpa aktifitas yang berarti dan belum dikenal sampai ke program studi sebagai target potensil pengguna.

Sistem pembelajaran multi media lewat teleconference sejatinya menuntut persiapan yang prima dari penyelenggara. Ketidak biasaan untuk menyediakan materi dan kelas pembelajaran dengan baik dan terinci membuat dosen-dosen universitas ragu-ragu memanfaatkan fasilitas canggih ini. Bayangkan dengan teleconference, dosen tampil di hadapan dunia belajar tanpa batas (borderless), disaksikan oleh siapa saja yang berminat atau masuk dalam system jaringan. Dari sisi yang lain, manfaat positif yang bisa diperoleh adalah komunitas pembelajar menjadi terbuka melintasi batas universitas bahkan negara. Dengan metoda interaktif kita bisa mengakses ilmu pengetahuan sesegera mungkin, langsung dari sumbernya.
Harus disadari bahwa tanpa dukungan yang serius dari birokrasi universitas, bukan saja dengan informasi ke program studi tentang keberadaan fasilitas, melainkan juga dukungan untuk keberanian menjadikan teleconference sebagai bagian penting dari sistem pembelajaran, termasuk kesadaran untuk membuat konten materi pembelajaran yang bisa ditawarkan ke masyarakat dunia, terutama materi-materi yang diyakini sebagai kekayaan lokal yang dimiliki universitas. Selain itu, bila dengan fasilitas ini birokrasi universitas mau berubah dari melakukan pertemuan internasional antar negara secara tradisional relatif tidak efisien dari segi biaya dan waktu menjadi pertemuan secara virtual, kita bisa tampil dengan citra positif yang tidak tertinggal dalam hal teknologi. Semakin sering kita melakukan itu, semakin terlatih kita dan semakin dikenal luas di dunia maya. Tanpa dukungan yang kuat, GDLN tak lebih dari seonggok material tak berjiwa yang akan menua dengan cepat. Simak juga tulisan Peluncuran GDLN Indonesia dan Horizon Baru.

Jumat, 18 Juli 2008

Sisdur

Improvisasi dibutuhkan agar nada dan irama bekerja tidak membosankan. Tetapi bila dalam bekerja semua orang dibiarkan berimprovisasi tanpa rambu-rambu yang jelas mengenai apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, universitas ini akan menjadi hutan belantara tempat berlakunya hukum rimba.

Sistem dan Prosedur (baca: System Operating and Procedures) dibutuhkan agar ada petunjuk jelas "siapa mengerjakan apa, bertanggungjawab kepada siapa, kapan dan bagaimana". Dengan demikian beban kerja dan kinerja staf dapat terukur dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan evaluasi dalam pengembangan karir mereka.

Ketidak jelasan sistem selama ini menimbulkan kebingungan staf dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi). Isu "mengejar SK Honor" selalu menjadi alasan untuk tidak menjalankan tugas dengan baik, walaupun yang dikerjakan adalah tupoksi masing-masing.

Kami menawarkan dan memperkenalkan konsep sistem dan prosedur manajemen universitas untuk bidang SDM, asewt, keuangan yang didukung dengan ICT, kepada pihak eksekutif dengan harapan dapat dimanfaatkan bagi perbaikan manajemen universitas.

Perbaikan Manajemen Universitas

Rendahnya daya saing luaran Unhas di skala nasional
apalagi internasional diyakini antara lain karena dukungan fasilitas pembelajaran baik berupa prasarana dan sarana perkuliahan, laboratorium, perpustakaan dan pendukung lainnya yang sangat tidak memadai. Relatif banyak pemahaman yang berkembang bahwa semua itu karena kesulitan universitas menggunakan dana akibat birokrasi KPKN. Jika masalah universitas adalah soal dana (baca uang), bisa diterjemahkan bahwa pendekatan yang dilakukan pada ketidak merdekaan untuk membelanjakan uang kita. Padahal uang hanya sekedar konsekuensi dari rancangan aktifitas dan bukan sebaliknya. Pendekatan masalah pada dana juga menyebabkan evaluasi kinerja hanya diukur pada kelengkapan administrasi bukti pengeluaran uang yang sudah dibelanjakan dan bukan pada efektifitas dan efisiensi suatu kegiatan.

Hasil kajian kami menunjukkan bahwa hampir semua hambatan yang terjadi bukan karena masalah uang karena universitas tidak pernah berada dalam situasi krisis likuiditas, melainkan karena fungsi manajemen yang belum berjalan baik. Sebagai institusi pemerintah, hingga saat ini Unhas tidak punya catatan informasi yang layak dipercaya sehingga berguna dalam membuat kebijakan. Fakta menunjukkan bahwa cukup banyak kebijakan strategis yang punya pengaruh penting bagi pengembangan universitas tidak dikaji secara serius sebelum diputuskan. Hasilnya bisa diduga bahwa kebijakan-kebijakan tersebut tidak punya dampak yang memadai sesuai yang diinginkan. No data no management!

Menyadari hal tersebut Unhas mengajukan proposal dan memenangkan PHK Indonesian Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (I-MHERE) yang dibiayai oleh World Bank bagi perbaikan manajemen universitas. Kami berlima yaitu Deddy, Budi, Wempy, Kartini dan Triyatni mendapat tugas untuk belajar di di University of Sydney dari tanggal 19 Januari- 9 Pebruari 2008.

Dengan waktu yang sangat singkat, begitu banyak hal-hal yang bisa dijadikan pelajaran berkaitan dengan pengelolaan sumber daya, keuangan, aset dan sistem informasi universitas. Catatan yang paling penting bahwa manajemen Usyd dibangun dengan menjaga "nilai" dan menjunjung "tradisi". Karena itu "trust" menjadi hal yang sangat penting bagi tercapainya tujuan memposisikan universitas mencapai ambisinya dengan slogan 1:5:40 menjadi nomor 1 di Australia, nomor 5 di Asia Pasifik dan nomor 40 di dunia. Ambisi ini melibatkan semua "stake holders" Usyd dan menggerakkan semua aktifitas menuju tercapainya ambisi tersebut.

Selamat Jalan Wimpie, Selamat Jalan Sahabat!

Sepanjang hari Selasa 7 Oktober 2008 cuaca terasa tidak nyaman karena mendung. Seharusnya hari ini Lantai 6 akan mengadakan rapat penting dengan pimpinan setelah libur Lebaran. Entah, mungkin sekedar faktor kebetulan, saya mengingatkan teman-teman bahwa yang bisa berbicara jernih soal manajemen adalah Wimpie. Selama ini bila kita berbicara soal manajemen, lebih banyak dengan gaya common sense semata. Hanya Wimpie yang dibekali ilmu khusus tentang pengetahuan itu. Kita semua tahu bahwa Wimpie kadang-kadang tidak sepakat dengan apa yang kita lakukan, tetapi Wimpie selalu punya cara untuk tidak berada pada posisi “kau-saya”. Hampir tidak ada yang merasa bahwa Wimpie lah yang dengan cara yang paling halus bisa menggerakkan staf rektorat untuk “terpaksa” juga membuat RKAT, yang selama ini dianggap cuma kewajiban fakultas.

Wimpie memang diam-diam selalu “dikorbankan” untuk mengerjakan tugas yang pasti sangat sulit dilakukan oleh kami. Wimpie juga yang selalu jelas menyatakan bahwa untuk manfaat yang baik, “sisdur” harus dibuat sendiri oleh pihak yang terkait. Tidak ada cerita bahwa sisdur dibuat oleh tim dan siap disuapkan pada pengguna. Dia bertahan dengan pendirian berbasis ilmu manajemen yang dimilikinya, sementara kita yang lain sering mulai ikut-ikutan tidak yakin bahwa itu bisa terlaksana. Wimpie pula yang dengan sabar membimbing staf asset dan memberi keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri.
Wimpie dengan ilmunya sebagai pendengar yang baik hampir tidak pernah kesulitan berkomunikasi dengan pegawai yang ingin maju.

Itulah Wimpie rekan dan sahabat kami, yang dengan terasa pilu harus kami ikhlaskan takdirnya menghadap Sang Pencipta di usia yang sangat produktif. Wimpie yang penuh belas kasih, seorang maestro spiritual. Yang di monitor notebooknya tertulis kata-kata emas Madame Teresa. Dia menjalankan aktifitas spritualnya melekat dengan kehidupan sehari-hari. “Jangan melakukan sesuatu pada orang lain hal-hal yang engkau tidak suka bila dilakukan padamu”, itu juga salah satu kalimat emas yang selalu dingatkan Wimpie pada kami teman-temannya. Jangan berhenti melakukan hal-hal yang baik hanya karena alasan kebaikan itu sulit diterima.

Suara Wimpie begitu indah. Menyanyikan lagu bersama dia bisa menciptakan rasa bahwa suara kami ternyata juga bagus. Dia pengumpan yang luar biasa memberi keberanian bagi orang awam untuk bernyanyi tanpa henti. Karena alasan itu pula maka Wimpie punya ruang gaul yang sangat luas, dari remaja hingga kalangan tua. Hanya sekian waktu setelah info kepergiannya, rumah tinggal Wimpie dipenuhi oleh berbagai kelompok manusia di Sulawesi Selatan, mulai kalangan kampus, pencinta musik, kelompok diskusi, kalangan politisi dan para remaja. Wimpie sedikit dari manusia yang bisa menembus semua lapisan batas pergaulan. Bahkan seorang calon walikota menjelaskan dengan terbuka bahwa Wimpie telah dilamar olehnya untuk menjadi Kadis Perdagangan.
Menurut si calon walikota, Wimpie sangat luar biasa dalam mengajar ilmu bisnis internasional. Bagi Wimpie tak ada murid yang bodoh! Tulisan-tulisan popular tentang manajemen yang dibuatnya bisa disampaikan dengan bahasa yang jernih dan mudah dimengerti menunjukkan kedalaman ilmu Wimpie.

“Sudah begitu lama kalian masih selalu menulis nama saya Wempy”, katanya mengomel sambil tersenyum setiap namanya ditulis salah. Nama lengkapnya memang aneh di telinga kami. Willem Joost Alexander Misero, orang baik yang mati muda! Selamat jalan Wimpie, selamat jalan sahabat dan guru kami. Mungkin kami akan rindu, tapi yakin tidak akan kehilangan karena kami tahu engkau selalu berada di antara kami yang senantiasa akan memanfaatkan ilmu yang telah engkau berikan.

Studi Banding

Studi Banding
Sumber Harian Kompas 26 November 2005

Anti Public Awareness (1)

Anti Public Awareness (1)

Anti Public Awareness (2)

Anti Public Awareness (2)

Anti Public Awareness (3)

Anti Public Awareness (3)

Anti Public Awareness (4)

Anti Public Awareness (4)

Buku Tamu

Pengunjung ke: