Rongga Kecil di Sebuah Bangunan Besar


Kelompok kerja yang terbangun bukan saja atas penugasan dari negara, melainkan juga karena kebutuhan sebagai suatu gerakan kecil untuk sebuah perubahan menuju komunitas masyarakat pembelajar lintas batas.

Ada banyak komunitas di lantai 6, tetapi banyak orang percaya seolah-olah inilah penghuni resmi, yang dipersepsikan sebagai:

1. Kumpulan para utopia.
2. Kumpulan orang-orang yang tidak jelas statusnya.
3. Kumpulan para pemikir yang sok cerdas.
4. Kumpulan orang-orang biasa yang ingin punya manfaat bagi bangsa dan negara.

Apapun persepsi yang melekat, ruang kecil di lantai 6 memiliki aura menggoda anggotanya untuk selalu rindu berkumpul, berdebat, berbagi ilmu, wawasan dan idea yang siap dimanfaatkan bagi mereka yang membutuhkan.


Renstra Unhas


Visi
Pusat Pengembangan Budaya Bahari.
Pengembangan budaya secara implisit berarti menciptakan ruang bagi pengembangan Ipteks (Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni) yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dianut.

Misi
a. Menghasilkan alumni yang mandiri, berahlak dan berwawasan global.
b. Mengembangkan Ipteks yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya.
c. Mempromosikan dan mendorong terwujudnya nilai-nilai bahari dalam masyarakat.

Nilai
Unhas menganut sistem nilai yang menjamin kebebasan pengembangan diri yang adaptif-kreatif terhadap keserbautuhan wawasannya, terhadap kebermanfaatan perannya, dan terhadap perilaku keberbagian keberadaannya. mengupayakan perbaikan dan penyempurnaan dalam melaksanakan misi.

Tujuan
a. Berperan sebagai pusat konservasi dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang unggul;
b. Mewujudkan kampus sebagai masyarakat akademik yang handal yang didukung oleh budaya ilmiah yang mengacu kepada nilai-nilai Unhas;
c. Mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang relevan dengan tujuan pembangunan nasional dan daerah melalui penyelenggaraan program-program studi, penelitian, pembinaan kelembagaan, serta pengembangan sumberdaya manusia akademik yang berdaya guna dan hasil guna;
d. Mewujudkan Unhas sebagai universitas penelitian (research university);
e. Meningkatkan mutu fasilitas, prasarana, sarana dan teknologi serta mewujudkan suasana akademik yang kondusif serta bermanfaat bagi masyarakat untuk mendukung terwujudnya misi universitas;
f. Meningkatkan produktivitas dan kualitas luaran, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan pembangunan dan dunia usaha;
g. Memupuk dan mengembangkan kerjasama kemitraan dengan sektor eksternal khususnya pemerintah, dunia usaha dan industri serta dengan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga Ipteks lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri.

Selengkapnya >>>


Sabtu, 07 Maret 2009

Sense of Urgency

(Eileen Rachman & Sylvina Savitri)

Seorang manajer mengeluh bahwa walaupun pencapaian target bagiannya hampir selalu tercapai, ia merasa bahwa teman-teman di bagiannya kurang berinisiatif untuk mengejar target baru dan kurang kreatif dalam mencari tantangan baru. Bahkan, ada yang berkomentar mengenai dirinya sebagai orang yang tidak pernah puas dan pesimis. “Sebenarnya yang saya inginkan adalah anak buah bisa merasakan sense of urgency, sehingga mereka lebih siap dengan perubahan pasar dan realitas kompetisi. Dalam perasaan nyaman begini, mana mungkin mereka mengidentifikasi dan mendiskusikan potensi krisis sekaligus kesempatan-kesempatan besar?”

Ketika pada tahun 1989 Stephen R. Covey mengentaskan konsep manajemen waktu, dalam buku 7 HABITS , yang diantaranya mengemukakan pentingnya membedakan hal yang “penting dan mendesak (urgen)” dan hal yang “penting dan tidak mendesak”, kita dibuat menyadari betapa kita harus membedakan antara apa yang ‘penting’ dan apa yang ‘urgen’. Stephen Covey mengingatkan bahwa kita seringkali hanya berkonsentrasi pada yang hal yang mendesak (urgen), yang sudah bermasalah dan harus cepat ditangani, karena sebelumnya hal-hal ini diabaikan, tidak diperhatikan karena dianggap tidak penting. Sekarang kita kurang lebih sudah lihat hasilnya : budaya mementingkan “yang penting” menjadi semakin kuat. Buktinya kata ‘penting ‘menjadi sangat popular di lingkungan pergaulan. “Ah, nggak penting….” kata seorang remaja atau “Atasan saya hanya mengurusi yang ‘tidak penting’ …” demikian ujar seorang karyawan perusahaan.

Mengutamakan hal yang “penting” tentunya merupakan sikap antisipatif yang sangat positif, misalnya menyelesaikan laporan sebelum waktunya, mengecek peralatan secara rutin, melaksanakan pengawasan berkala, melakukan rapat reguler dan komunikasi efektif, sehingga kita bisa menekan munculnya masalah yang urgen. Pertanyaannya, apakah perhatian terhadap hal-hal yang penting ini juga mencakup perhatian kita terhadap terpeliharanya mental waspada dan sikap “bergegas” kita dalam bekerja ?

“Sense of urgency” tidak sama dengan ‘menghadapi “urgency” ‘
Dalam dunia kerja dan bisnis sekarang, kita tentunya harus mempertanyakan kapan masih bisa menerapkan faham “alon-alon asal kelakon”. Kita bisa memilih mengatakan pada rekan kerja kita: “Ayo ini sudah bulan oktober” atau “Ini masih bulan oktober”. Kecenderungan untuk hidup ‘enak’ , menutup mata dari kabar buruk dan dorongan untuk menghindar dari kenyataan pahit, sering membuat kita menjerumuskan diri dan tim kita dalam posisi ‘nina bobo’ alias comfort zone. Keadaan ini dipersubur bila tidak ada ukuran yang obyektif mengenai kinerja dan sikap yang diinginkan, sehingga tanpa terasa individu semakin nyaman berada di daerah abu abu dan menghindari konfrontasi hitam putih.

Di sebuah bank klien saya, baru-baru ini beredar sebuah slogan unik: “No business as usual”, yang agak bertentangan dengan budaya di dunia perbankan yang biasanya mengembangkan sikap konservatif, mantap dan pasti. Sentakan yang dilontarkan pimpinan perusahaan ternyata menghasilkan tingkat kewaspadaan karyawan yang lebih baik, sehingga semangat kompetisi dan memenangkan tantangan menjadi lebih kuat. Tentunya peningkatan kewaspadaan ini bisa dicapai bila organisasi tidak bosan bosannya menyiapkan sasaran-sasaran baru, meningkatkan tantangan penjualan, produktivitas maupun kepuasan pelanggan, dan berkomunikasi secara jujur dan terbuka tentang kejadian enak dan tidak enak di dalam dan di luar perusahaan. Tidak banyak “happy talk” lagi dalam meeting, namun komunikasi digantikan dengan fakta-fakta mengenai pencapaian target, kesempatan di masa depan dan keberhasilan orang luar. Kondisi inilah yang membangunkan individu agar tidak terlalu banyak berkonsentrasi pada upaya ‘menyamankan diri’ dan mendorong diri untuk bersikap waspada, dinamis dan berkeinginan untuk menyambut tantangan baru atau “urgency” yang sesungguhnya.

‘4-A’ Sense of urgency
Seorang salesman saya terperangah, ketika saya tanyakan sasaran penjualan berikutnya, sesaat setelah baru saja kami sukses menutup sebuah penjualan yang ‘manis’. Mungkin dalam hatinya ia berkata “Nggak ada matinya ibu ini…”. Persoalannya, sense of urgency adalah sebuah siklus yang berpedoman : “Success motivates more success”. Siklus 4-A, yang terdiri dari Achieve – Assess – Activate dan Accelecate dimulai dari sebuah upaya pencapaian tantangan (achievement) yang bila tercapai, segera dievaluasi (assess), kemudian segera direvisi dan dihidupkan kembali (activate) untuk memulai sesuatu yang baru lagi, sambil tak lengah mendorong dan menggenjot energi (accelerate) untuk mengoptimalkan pencapaian hasil.
Banyak sekali hal-hal yang bisa menyebabkan individu lengah atau “slow down”, seperti menunggu keputusan,merayakan keberhasilan, menyusun anggaran, faktor birokrasi dan proses di pihak ketiga. Di sinilah sesungguhnya kekuatan kita diuji untuk tetap bergerak, dan mengayuh enerji. Begitu kita berhasil atau “achieve” lagi, kita boleh merayakan suksesnya. Namun, kita tidak boleh terlena karena dengan segera kita pun perlu meng-“assess” dan membuat tantangan baru lagi. “Sense of urgency “ hanya bisa didapatkan oleh individu yang mau menceburkan diri ke dalam siklus yang bergerak kencang , bahkan bergoyang.

Jadilah “Person in Motion”.
Kita semua pasti setuju bahwa lebih mudah mengendalikan obyek yang bergerak daripada diam. Berpatokan pada hal ini, kita bisa mengadaptasi untuk lebih bersikap dinamis daripada statis. Seorang ahli menyatakan bahwa langkah pertama untuk menghidupkan “sense of urgency” adalah dengan berjalan kaki lebih cepat, sehingga kita juga mensugesti diri sendiri bahwa kita sedang bergegas. Bersikap responsif, misalnya dengan segera menjawab telpon, merespon email, voice mail, blackberry , maupun sms, serta berorientasi ‘action’ seperti ini akan mendorong individu tidak mengijinkan dirinya untuk mencari-cari alasan menunda pekerjaan. Dalam berkomunikasi, kita pun bisa membiasakan untuk tidak berbelit-belit, sehingga orang lain pun terpengaruh untuk berbicara “to the point”. Hal ini membuat kita bisa mengefisiensikan banyak waktu di dalam rapat dan pergaulan.

Kita mudah sekali melihat orang lain tidak mengadaptasi “sense of urgency”, padahal kita sendiri pun barangkali mempunyai penyakit yang sama. Karenanya , bergeraklah, “Do it now!”

Human Capital

(Eileen Rachman & Sylvina Savitri)

Berapa persen dari fitur komputer atau telepon genggam yang selama ini Anda manfaatkan? Apakah sudah melewati 50%? Bila memang Anda memanfaatkan mesin tersebut sudah sampai 50%, saya yakin bahwa mesin tersebut sudah mulai terengah-engah ‘bekerja’ untuk Anda. Manusia pun ibarat mesin. Seorang ahli manajemen mengatakan bahwa energi dan kontribusi yang diaplikasikan seorang karyawan di perusahaan, hanyalah sebagian kecil dari kapasitasnya. Perumpamaan manusia vs mesin ini pun sangat mudah dicerna peserta sharing mengenai human capital. Bahkan kemudian sering terdengar olok-olok, seperti: “Mesinnya komplit, tetapi van-belt-nya hampir putus”, atau “Mesinnya sempurna tetapi tidak ada ‘colokan’-nya, jadi percuma mesin itu ada”.

Bila kita ber-mindset “human capital” maka kita bisa melihat manusia ibarat sebuah mesin yang berfungsi penuh, tetapi utilisasinya sangat tergantung ‘pemilik’-nya. Sebagai sebuah mesin yang utuh, manusia merupakan satu-satunya mesin yang bisa ‘bergerak sendiri’, bahkan kadang sulit dikendalikan oleh pihak lain, katakanlah operator, kecuali dirinya sendiri. Dialah pemilik mesin itu sendiri.

Saya sering senyum-senyum sendiri bila teman saya, seorang CEO, marah-marah bila menyadari biaya ‘human capital’ di perusahaannya mencapai 65% dari keseluruhan biaya perusahaan. Padahal, beliau sering menyebutkan kalimat klise, bahwa ”manusia adalah aset terbesar di perusahaan kami”. Pada saat demikianlah biasanya kita sadar bahwa sumber daya manusia masih jarang menjadi fokus dan pengelolaan yang optimal, di antara strategi bisnis lain di perusahaan.

Tidak Ada Kurasi Instan
Hal sulit dalam mengelola manusia ini adalah kita tidak bisa melakukan perubahan mendadak, walaupun uang tersedia. Kita bisa dengan segera meregenerasi mesin atau memindahkan pabrik, namun melakukan aksi perubahan pada sumber daya manusia berdampak tidak saja pada biaya tetapi masih banyak lagi aspek kehidupan yang lebih sulit dikendalikan. Apalagi bila kita sudah menghadapi gejala-gejala khas akibat salah urus manajemen manusia seperti: ‘Too many chiefs no Indians’, yaitu terlalu banyak manager, sementara staf yang di-manage hanya sedikit, atau sebaliknya, langkanya karyawan yang bisa diandalkan sebagai pemimpin.

Gejala ini tidak hanya terjadi pada perusahaan manufaktur di mana bisnis masih di dominasi mesin dan automasi, tetapi juga terjadi pada perusahaan-perusahaan dengan bobot sumber daya manusia yang besar, seperti perusahaan yang menjual jasa seperti bisnis perbankan, konsultasi, engineering. Saat ini biasanya baru kita sadari bahwa upaya bajak, rekrut baru, pelatihan tidak akan mendapatkan kurasi instan. Kita memang perlu memikirkan strategi yang berkesinambungan, berjangka menengah dan panjang, untuk menciptakan ‘mesin-mesin’ manusia yang handal dan kompetitif sepanjang waktu.

Cost Reduction vs Value Creation
Seperti halnya Negara Cina yang beberapa tahun lalu menerapkan upah sangat rendah, kita pun bisa dikatakan berpuluh tahun menikmati ‘tenaga murah’, misalnya buruh dan pegawai negeri. Manusianya pun oke-oke saja dengan kondisi ini, setuju digaji seadanya, efeknya ia tidak menuntut dirinya untuk berkembang, tidak merasa perlu bersusah payah untuk memelihara dan mengasah ‘mesinnya’ agar tidak ketinggalan jaman. Tanpa kita sadari, keteledoran ini menyebabkan lemahnya ‘human capital’ secara menyeluruh dan tidak kompetitifnya sumberdaya manusia kita. Upah rendah itu ternyata berakibat biaya yang tinggi juga. Manusia yang tidak mengembangkan diri akan menghasilkan rendahnya kualitas produk, lambatnya produksi, buruknya servis, yang berakibat pada tidak kompetitifnya hasil. Sementara, biaya per manusia yang menyangkut kesehatan, asuransi, kesejahteraan keluarganya semakin melonjak, sehingga ‘human capital’ yang ada di perusahaan menjadi tidak efektif dan efisien.

Dalam situasi krisis begini, perusahaan memang bisa saja mengurangi biaya sumberdaya manusia. Namun, sebelum mengambil keputusan untuk memangkas biaya-biaya sumberdaya manusia, para employer memang perlu memikirkan akibat yang terjadi di perusahaan seperti pincangnya kompetensi, beratnya beban kerja, hilangnya kesempatan suksesi, macetnya proses investasi di manusia dan membandingkannya dengan mengkalkulasi kekuatan aset manusia ini yang sebetulnya membawa bobot pengetahuan, intelektual, jaringan sosial, servis dan merupakan ‘added value’ tak terbatas. Seorang ahli berkomentar: ”There’s a floor to cost reduction but no ceiling to value creation”, artinya, mengurangi biaya sumber daya manusia pasti ada batasnya, padahal dengan SDM yang baik, kita bisa melakukan kinerja yang tidak berbatas. Bayangkan kalau di perusahaan kita, bekerja manusia-manusia berspirit kreatif dan inovatif, yang tidak hanya sekedar mempertahankan atau memajukan bisnis tetapi menciptakan bisnis.

Ciptakan Pabrik ‘Talent’
Charles Coffin, CEO General Electric yang pertama (tahun 1920-an) sudah mengatakan bahwa “GE’s most important product is not light bulbs or transformers but managerial talent “. Kita lihat bahwa ‘Human Capital management’ yang baik, akan memperhitungkan berharganya pengumpulan pengalaman, ekspertis, di samping spirit inovasi karyawannya dalam jangka panjang. Perusahaan yang sukses dengan ‘human capital management’ yang canggih, senantiasa mengkaitkan perkembangan bisnisnya dengan kebugaran ‘human kapital’-nya, ‘memangkas’ yang tidak perlu, mengasah, memelihara, di samping menjaga daya tarik ‘employment’, sehingga selalu mendapatkan bibit-bibit baru terbaik.

Bagaimana dengan kita, si mesin, diantara 220 juta mesin lain di Indonesia? Marilah kita menjadi mesin yang utuh, lengkap dalam diri sendiri, tidak membutuhkan alat bantu untuk ‘dinyalakan’, bisa meng-‘upgrade’ diri sendiri tanpa harus didorong-dorong, kreatif, inovatif dan fleksibel ditempatkan di lahan mana pun, dan menyusun kekuatan sumber daya manusia Indonesia.

http://www.experd.com/news-articles/articles/134/

Minggu, 01 Maret 2009

Arti Tanggungjawab

(Belajar dari kejujuran Wye Yap)

Overseas Training Asistance (OTA) terakhir yang menjadi tamu Unhas lewat program I-Mhere adalah Wye Yap, ahli manajemen keuangan dari Sydney. Berbeda dengan dua ahli sebelumnya yaitu David Williams ahli manajemen SDM dan Robert Handelsman ahli manajemen aset yang berasal dari budaya Barat, Wye Yap walaupun juga warga negara Australia tetapi merupakan imigran Chinese dari Malaysia. Pengaruh budaya Asia membuat kami tersentak dengan kejujuran Wye Yap tentang banyak hal yang ditemui di Unhas. Berbeda dengan dua rekannya yang berusaha sebijak mungkin memahami kekurangan yang dimiliki Unhas, Wye Yap memberikan reaksi yang membuat kami harus mengelus dada dan menghirup nafas dalam-dalam agar menerima kejujurannya dengan ikhlas.

Untuk memudahkan pengenalan situasi Unhas, setiap ONDT akan tiba di Makassar hari Minggu, menginap selama bertugas di Rusunawa dan hari Senin mulai bertugas. Seperti penyambutan David dan Robert, kami juga menawarkan diri untuk menemani berbelanja keperluan sehari-hari. Kami masih tersenyum saat melihat Wye Yap menghabiskan hampir setengah juta rupiah untuk berbelanja alat-alat pembersih ruangan termasuk kain peralatan pel dan karbol. Sisanya untuk membeli alat penerangan karena menganggap penerangan rektorat tidak memenuhi syarat untuk bekerja.

Selama sebulan di Unhas, Wye Yap menghabiskan akhir pekan di Jakarta, Singapura dan Malaysia. Maka lagi-lagi kami berkesimpulan bahwa dia orang yang suka pesiar dan berfoya-foya. Wye Yap hanya sekali makan siang di kantin Unhas, setelah itu dia memilih makan mie instant yang tinggal disiram air mendidih. Wye membawa air mineral, piring, gelas dan sendok sendiri. Kalau kebetulan lagi makan siang dan kami mengajaknya, dia menolak tanpa basa-basi. Pokoknya tidak ingin saja! Bandingkan dengan David dan Robert yang menerima makanan apa saja yang ditawarkan dengan rasa ingin tahu yang besar.

Dua minggu pertama, sikap Wye Yap membuat beberapa diantara kami sedikit jengkel dan menganggap Wye Yap bertingkah. Kami langsung curiga, jangan-jangan dia bukan type orang yang bisa bekerja, dengan asumsi dasar NATO, no action talking only. Minggu ketiga barulah Wye Yap bertanya kepada beberapa teman bahwa bagaimana mungkin peralatan makan minum Unhas dibiarkan atau dicuci di toilet. Dia heran melihat toilet yang lantainya dipenuhi dengan peralatan makan dan sampah sisa makanan, air yang tak mengalir serta WC yang tidak disiram. Tiba-tiba kami merasa mual! Pertanyaan Wye Yap memicu rasa ingin muntah karena selama ini menggunakan peralatan makan yang tentu jauh dari standar kebersihan. Kondisi inilah antara lain yang membuat dia memerlukan relaksasi berbiaya mahal setiap pekan melarikan diri dari ketegangan.

Belum seminggu bertugas sebagai ahli manajemen keuangan, Wye Yap juga merasa heran mengapa buku laporan keuangan yang satu tidak connected dengan buku yang lain. Aneh menurutnya! Lebih aneh lagi karena tak ada seorang staf keuangan yang merasa perlu belajar dari Wye Yap. Membiarkan ahli bergaji mahal tanpa manfaat, membuat kami memutuskan bahwa Wye Yap harus membuat review tentang masalah manajemen keuangan Unhas di hadapan pimpinan. Harapan kami review dari pihak independent mungkin lebih bisa membuka mata kita apa kekurangan Unhas selama ini. Wye Yap mulai dengan kondisi Unhas, kemudian konsep yang dianggap minimal harus dilakukan. Setelah mendengar ulasan Wye Yap, Rektor kemudian menanyakan apa yang telah dilakukan sistem manajemen keuangan Unhas saat ini. Dan inilah jawabannya “nothing”, walaupun dengan sopan dia juga mengatakan ada baiknya karena kita bisa membuat sistem yang benar sejak awal.

SDM, Aset dan Keuangan
Jauh sebelum proposal I-Mhere diajukan ke World Bank, Tim Perencanaan dan Pengembangan sudah menyadari bahwa masalah utama selama ini bersumber pada sistem pengelolaan SDM, asset dan keuangan. Karena alasan ingin memperbaiki sumber masalah, Unhas mengajukan proposal dan diterima. Persoalan kemudian muncul karena ketiga wilayah ini merupakan wilayah yang tertutup oleh tembok tebal. Sulit sekali mengetahui apa yang terjadi di wilayah ini. Kejujuran Wye Yap dengan sikapnya saat berada di Unhas membuktikan bahwa apa yang dilakukan oleh I-Mhere adalah perlawanan terhadap sistem yang tidak ingin disentuh.

Kita mulai dari sikap Wye Yap yang membeli peralatan kebersihan untuk penginapan sederhana bertarif Rp. 150.000,- / hari. Pengelola tidak merasa bersalah sedikitpun dengan sikap tamu. Sebelumnya Robert mengalami hal yang aneh untuk penginapan yang tidak gratis ketika hampir seminggu air tidak jalan dengan lancar. Pengelola hanya berdalih memang demikian di Unhas, pada musim kering kita kesulitan mendapatkan air. Jelas ini bukan bagian dari hospitality yang disyaratkan oleh sebuah layanan akomodasi. Tarif yang ditetapkan Rusunawa setara dengan home stay Melati terbaik yang ada di pusat kota, tetapi services yang diberikan seakan tamu menginap gratis. Lalu siapa yang bertanggungjawab akan hak tamu tersebut?

Pengalaman menunjukkan bahwa saat tamu akan menginap di Rusunawa, staf pengelola akan menawarkan dua sistem pembayaran. Kalau membayar ke rekening pengelola, tariff kamar VIP Rp. 150.000.-/malam. Tetapi bila pembayaran dilakukan dengan tunai, tamu cukup membayar Rp 50.000,-/malam. Situasi ini cukup menunjukkan kepada kita bahwa dengan model pengelolaan seperti ini tidak akan ada perhatian kepada maintenance aset terutama untuk tujuan kenyamanan tamu. Perhatian oknum pengelola terfokus pada bagaimana menciptakan peluang untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Tidak mungkin ada konsep optimalisasi pemanfaatan Rusunawa sebagai sumber pemasukan Unhas yang menguntungkan. Sistem seperti ini hanya akan berbuntut sebagai beban tambahan bagi pengeluaran Unhas.

Berikutnya pada kebersihan toilet gedung Rektorat. Untuk sistem kebersihan, Unhas mengontrak rekanan cleaning service. Selain itu Unhas juga punya staf yang bertugas sebagai pramu kantor. Lalu mengapa toilet tetap tak terurus? Kita saksikan bahwa rekanan menjalankan kewajiban tanpa pengawasan dari pemberi tugas, karena itu hanya menugaskan satu petugas untuk minimal dua lantai gedung. Selain tidak manusiawi, tidak mungkin seorang petugas mampu membersihkan lantai yang sangat luas. Persoalan berikutnya kemudian bertambah karena si petugas cleaning service mendapat pekerjaan sampingan sebagai koki dari unit tempat dia ditugaskan. Ada peraturan tidak resmi yang dibuat oleh para pramu kantor Unhas ketika sudah diangkat sebagai PNS. Saat itu justru dianggap sebagai kebebasan untuk tidak perlu bekerja lagi sesuai tupoksinya. Pekatnya unsur kekerabatan dalam penjaringan staf membuat kondisi seperti ini terlindungi dengan baik. Kekacauan semakin menjadi, karena si petugas cleaning service masih disibukkan dengan fungsinya sebagai pemulung. Maka tak heran hall-hall di setiap lantai tampak seperti pusat pengumpulan kardus dan kertas bekas dengan aroma limbah sampah sisa makanan yang mengendap berhari-hari yang mengundang tikus menari-nari.

Cerita selanjutnya pada sistem manajemen keuangan Unhas. Sebagai institusi besar, Unhas mengelola uang dengan jumlah ratusan milyar. Mengapa sampai bisa terjadi bahwa sistem yang ada dianggap “nothing” oleh Wye Yap? Persoalannya cukup sederhana, yaitu dalam sistem tersebut hanya ada satu orang akuntan dengan kualifikasi keahlian S1. Mempercayakan uang yang demikian besar pada satu orang ahli sungguh sangat beresiko. Pertanyaan berikut mengapa Unhas selama ini tidak pernah memprogramkan kebutuhan staf keuangan yang memang memiliki kualifikasi berlatar belakang akuntansi? Unhas punya program akuntansi, sehingga tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa kita kesulitan mendapatkan SDM akuntansi. Bagaimana mungkin Unhas sebagai pencetak tenaga ahli keuangan mempercayakan sistem keuangannya pada orang-orang dengan latar belakang jauh berbeda seperti sarjana hukum atau sarjana teknik?

Tanggungjawab
Dari uraian cerita tersebut di atas, kita dapat mengira-ngira bahwa belum ada rasa kewajiban dari staf untuk bekerja berdasarkan tupoksi. Sistem tugas dan tanggungjawab masih dibangun atas landasan pertemanan atau hubungan baik, bukan karena tupoksi mengharuskan hal tersebut. Tupoksi yang tidak dikomunikasikan sebagai hak publik membuat ruang kerja bagai hutan rimba dan pihak yang membutuhkan layanan lebih sering tersesat dan hal seperti ini tidak dianggap aneh. Tidak ada signage (tetanda) yang jelas yang bisa memandu mengarahkan pengguna layanan bisa melangkah di jalur yang benar. Dari kejujuran informasi yang disampaikan Wye Yap, hanya satu orang staf yang merasa sadar bahwa ada yang kurang sehingga perlu mencari tahu yaitu Rektor. Staf yang langsung terlibat pada masalah tidak merasa bahwa ketidak beresan yang terjadi merupakan bagian dari tupoksinya.

Selama ini tupoksi masih diartikan sebagai ruang hak bagi staf yang ditunjuk. Padahal tidak mungkin ada hak tanpa tanggungjawab. Hak dan tanggungjawab adalah dua sisi mata uang yang melekat satu sama lain. Istilah tanggungjawab yang paling sederhana adalah bertanggungjawab terhadap yang berhak menuntut misalnya institusi melalui atasan, pemberi tugas, pengguna jasa dan tentu saja kepada Tuhan. Penting dicatat bahwa tanggungjawab kepada atasan tidak salah diartikan sebagai loyalitas buta untuk mengikuti apa saja keinginan atasan, terutama bagi institusi milik negara dimana pejabat bisa berganti setiap saat tetapi visi dan misi institusi harus berjalan terus.

Tanggungjawab bukan berarti sekedar memenuhi persyaratan administrasi bahwa yang penting apa yang dibuat sudah benar di atas kertas. Tanggungjawab harus membangkitkan kesadaran untuk melakukan tindakan-tindakan yang bermutu. Seorang yang bertanggungjawab tidak pernah akan puas mengerjakan sesuatu setengah-setengah atau asal jadi, walaupun orang tidak tahu hal itu dilakukannya. Bangga akan mutu pekerjaan yang dihasilkan adalah rasa moral penting yang ingin dinikmati oleh seorang yang bertanggungjawab. Tanggungjawab untuk menghasilkan pekerjaan yang bermutu mendorong seseorang untuk tidak pernah berhenti belajar ilmu yang sesuai dengan keahliannya, belajar dari situasi, belajar dari pengalaman orang lain, belajar secara teoritis lewat pendidikan dan belajar dari kesalahan diri sendiri. Seorang yang bertanggungjawab tidak pernah malu untuk belajar dari kesalahan karena kesalahan merupakan landasan bagi kemajuan untuk menjadi seorang professional. Perbaikan mutu manajemen Unhas hanya bisa terbangun dengan kesadaran moral seluruh staf akan tanggungjawab memberikan layanan terbaik bagi aktifitas utama Unhas sebagai lembaga akademik yang mendukung tujuan nasional mencerdaskan bangsa.

Minggu, 18 Januari 2009

Benarkah Yang Mereka Tolak Adalah UU BHP?

Baru-baru ini Tim Perencanaan dan Pengembangan Unhas diundang oleh salah satu BEM Fakultas untuk berdiskusi tentang BHP di aula Baharuddin Lopa. Seperti layaknya rencana sebuah diskusi, sebelum pertemuan tim berusaha mempersiapkan diri untuk mempelajari berbagai sisi dari BHP dan kondisi Unhas dalam menghadapi UU tersebut. Sayang sekali karena tim merasa terjebak sebab acara yang digagas oleh BEM tersebut adalah acara penolakan UU BHP dan bukan acara diskusi. BEM tersebut juga mengundang beberapa pembicara lain yang memang diminta berbicara “pokoknya tolak UU BHP”. Mengapa tim merasa terjebak? Sebab menolak atau menerima UU BHP bukanlah dalam wewenang Tim PP, melainkan keputusan Senat Universitas. Sehingga jika mahasiswa ingin mengundang Tim PP untuk masuk dalam kegiatan yang bertema “Menolak UU BHP”, maka undangan itu benar-benar salah alamat. Tim PP bukan bagian dari jaringan kekuasaan sehingga tidak memiliki kompetensi berbicara di ranah politik.

Walaupun merasa sangat kecewa dengan sikap BEM yang cenderung kurang jujur dalam memberikan informasi tentang materi acara, Tim PP berusaha merekam apa saja hal-hal yang dianggap negative yang membuat sekelompok masyarakat terutama mahasiswa bersikeras “pokoknya menolak UU BHP” ini . Dari orasi yang dikemukakan oleh para pembicara yang diundang, secara garis besar hal-hal yang ditolak terutama berkisar pada masalah:
1. Mandiri vs Nirlaba
2. Kekuasaan rektor yang akan semakin besar
3. Komersialisasi pendidikan
4. Pendidikan yang berada dalam kendali pemilik modal.

1. Mandiri vs Nirlaba
Mahasiswa tidak percaya terhadap pernyataan dalam UU BHP bahwa badan hukum pendidikan adalah institusi nirlaba, termasuk tidak percaya bahwa keuntungan yang didapat wajib ditanamkan kembali untuk kepentingan pendidikan. Bagi mahasiswa prinsip nirlaba dan mandiri yang ada dalam UU BHP adalah dua hal yang bertentangan. Nirlaba artinya tidak mencari keuntungan, sedangkan mandiri artinya harus berusaha sendiri.

Masalah nirlaba memang harus dijabarkan, ditegaskan dan dikumandangkan dengan baik terutama oleh PTS yang pemilik yayasannya adalah swasta. Selama ini yayasan memang memainkan peran penting untuk mengatur pengelolaan keuangan institusi pendidikan mereka, sehingga sering kita dengar adanya pertentangan yang sangat keras antara pihak manajemen pendidikan yang membutuhkan biaya optimal bagi kualitas pendidikan yang baik, dengan pihak yayasan yang berusaha menekan biaya pendidikan seminimal mungkin dan meraih keuntungan sebesar-besarnya.

Bagi Unhas yang PTN, pemiliknya jelas adalah pemerintah yang dari dulu prinsip aktifitasnya adalah nirlaba sehingga masalah nirlaba lebih banyak dikaji dari ketakutan terhadap kegairahan pimpinan mengomersilkan universitas antara lain mencari biaya pendidikan melalui kemitraan yang akan mengambil hak kelompok miskin atau memanfaatkan kepentingan pemilik modal yang berujung pada pengendalian kebebasan universitas oleh mereka.

2. Kekuasaan rektor yang akan semakin besar.
Selama ini kekuasaan tertinggi universitas berada pada Senat Universitas dan bukan pada rektor. Dalam UU BHP, kekuasaan tertinggi akan berada pada pemangku kepentingan yang terdiri dari pendiri atau wakil pendiri yang dalam hal PTN adalah Menteri Pendidikan, wakil organ representasi pendidik, pemimpin organ pengelola pendidikan, wakil tenaga kependidikan dan wakil unsur masyarakat yang salah satunya adalah wakil mahasiswa.

Hal yang penting dalam UU BHP adalah bahwa walaupun juga duduk dalam organ representasi pemangku kepentingan, pemimpin organ pengelola pendidikan dalam hal ini rektor, tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan (Pasal 18 ayat 5). Artinya rektor hanya menjalankan fungsi sebagai manajer pelaksana kegiatan. Dengan demikian bila berbicara soal siapa yang diuntungkan atau dirugikan, maka yang paling dirugikan adalah rektor yang kewenangannya akan diatur dan dibatasi oleh pemangku kepentingan termasuk oleh wakil mahasiswa, tidak seperti kewenangan yang ada sebelum BHP.

Kegalauan mahasiswa tentang semakin besarnya ancaman pemecatan oleh universitas bila berbeda pendapat dengan pimpinan sehingga menutup ruang apresiasi mahasiswa seperti yang dicontohkan pada kasus pemecatan 25 orang mahasiswa baru-baru ini, justru dapat disuarakan dalam forum pemangku kepentingan. Di forum ini seluruh wakil pemangku kepentingan termasuk mahasiswa dapat membuat rumusan tentang hak dan kewajiban warga universitas, termasuk kapan dan bilamana seseorang warga pantas dipecat. Bandingkan dengan kekuasaan Senat Universitas yang tidak memiliki ruang bagi wakil mahasiswa untuk bersuara.

3. Komersialisasi Pendidikan
Otonomi atau kemandirian yang dimiliki oleh institusi pendidikan ditakutkan akan menutup akses bagi orang miskin atau mereka yang tidak mampu untuk masuk ke perguruan tinggi. Pasal 41 ayat 8 menyatakan bahwa biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 7 yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada BHPP atau BHPPD paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional.

Salah seorang pembicara utama yang menolak UU BHP langsung menghitung bahwa SPP mahasiswa Unhas akan menjadi 1/3 dari Rp. 18.000.000,- atau Rp. 6.000.000,- masih lebih mahal dari PTS seperti Unpar yang hanya memungut Rp. 4.000.000,-. UU BHP menyatakan 1/3 adalah paling banyak. Artinya universitas punya ruang untuk menentukan berapa yang maksimal bagi Unhas. sepanjang tidak menyalahi ketentuan maksimal 1/3 tersebut. Unhas bisa menentukan dari gratis hingga 1/3 yang disesuaikan dengan konteks Unhas, melalui forum pemangku kepentingan.

Selama ini biaya kemitraan memang menjadi salah satu masalah yang menggelisahkan kita semua, bukan saja persoalan pada mahalnya biaya yang harus dibayar, melainkan juga siapa yang berhak menikmati fasilitas tersebut. Ketika kemitraan digagas pertama kali, persoalan nilai moral dituntut untuk dikedepankan sebagai pengendali kebijakan, yang diharapkan tidak akan sampai membuat Unhas mengorbankan hak masyarakat yang cerdas kepada mereka yang kaya tapi memiliki kualitas kecerdasan yang tidak memadai untuk masuk ke perguruan tinggi. Karena alasan tersebut, maka syarat pertama dari kemitraan tetap adalah tingkat kecerdasan. Setelah syarat tersebut dipenuhi barulah diikuti dengan pembukaan usulan sumbangan yang diberikan oleh calon mahasiswa kemitraan. Berapa banyak jumlah mahasiswa yang dijaring melalui kemitraan sehingga tidak mengambil hak mereka yang masuk lewat seleksi regular UMPTN juga menjadi masalah krusial. Jumlah ini tetap harus berada dalam kendali nilai moral untuk menghindari system kebodohan terstruktur karena pendidikan hanya bisa diakses mayoritas orang kaya, kapanpun, apakah Unhas menjadi BHP atau tidak.

Kembali ke pembicara tadi, yang bersangkutan mengungkapkan puijiannya kepada fasilitas dan system pendidikan yang ada di di sebuah fakultas dibanding dengan fakultas-fakultas lain di Unhas yang tidak punya kesibukan sehingga banyak waktu yang dimanfaatkan untuk tawuran. Sayang sekali harapan bahwa beliau seharusnya tidak ambigu tetapi juga mendalami apa yang menyebabkan fasilitas tersebut jauh lebih baik dibanding fakultas yang lain. Penyebabnya karena selain jumlah mahasiswa kemitraannya yang sangat besar, juga perhatian yang lebih banyak dari pimpinan untuk fakultas tersebut. Masalah inilah yang bila tidak ditelaah dengan hati-hati, akan membuat kesenjangan antara fakultas yang satu dengan yang lain, yang bisa berpotensi pada ketidak harmonisan Unhas sebagai suatu entitas. Idealnya seluruh unit kerja mendapat perlakuan yang adil dan berimbang, sehingga dalam dunia pendidikan tidak dikenal unit kerja berlahan subur atau gersang. Dengan demikian perkembangan hasil luaran kita dari berbagai bidang ilmu juga bisa dirancang berkualitas setara.

Komersialisasi juga dinyatakan mahasiswa pada terbatasnya kebebasan pemanfaatan fasilitas universitas seperti yang dicontohkan pada penggunaan Asrama Mahasiswa atau Auditorium (Baruga). Ketakutan ini dianggap akan semakin menjadi-jadi bila Unhas menjadi BHP.
Adalah realitas bahwa sistem pengelolaan asset di Unhas memang termasuk salah satu masalah manajemen yang paling krusial di antara berbagai masalah lainnya seperti keuangan maupun SDM. Dari penelitian yang dilakukan sejak tahun 2004, diketahui bahwa optimalisasi pemanfaatan asset Unhas hanya 52% jauh dari standar pengelolaan asset yang sehat yaitu minimal 80%. Banyak asset Unhas yang tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal dikarenakan tingginya tingkat kekuasaan di unit-unit kerja yang tidak menganggap asset yang dikelola sebagai milik universitas, melainkan sebagai milik unit kerja sehingga tidak boleh digunakan unit lain tanpa imbal jasa biaya pemakaian. Alasan utama adalah universitas tidak memberikan biaya pemeliharaan yang memadai, sehingga bila terjadi kerusakan fasilitas maka yang akan dirugikan adalah unit kerja. Akibat dari tidak efisiennya penggunaan asset ini pastilah berdampak pada tingginya biaya operasional proses pembelajaran yang ujung-ujungnya juga akan menjadi beban peserta didik.

Di sisi lain, banyak fakta yang kita temukan bahwa asset Unhas telah dikomersilkan untuk kepentingan mendapatkan keuntungan pribadi oleh staf Unhas dari tingkat pimpinan hingga satpam maupun pengurus lembaga kemahasiswaan. Contoh ini dapat dilihat pada pemanfaatan aliran listrik untuk bisnis foto copy yang tarifnya jauh lebih mahal dari tariff standard oleh berbagai oknum dan dananya dinikmati untuk kepentingan pribadi. Komersialisasi fasilitas Unhas juga terlihat pada pemanfaatan fasilitas oleh pihak di luar Unhas dengan mengatas namakan orang Unhas termasuk staf maupun mahasiswa.

Kebijakan asset yang dirancang melalui aktifitas perbaikan manajemen yang dibiayai I-Mhere sudah menekankan bahwa semua fasilitas Unhas yang mendukung aktifitas utama mahasiswa seperti asrama mahasiswa, fasilitas olah raga, kantin, bukanlah asset yang pantas dikomersilkan sebagai sumber dana universitas. Alasannya adalah bahwa uang yang akan diterima Unhas melalui komersialisasi tersebut tidak akan pernah membuat Unhas menjadi kaya, bahkan sebaliknya hanya akan menghambat proses pembelajaran karena menyusahkan mahasiswa. Hanya bagaimana mengelola asset tersebut sehingga kualitasnya tetap terpelihara tanpa membebani biaya bagi mahasiswa harus dianalisis dengan sangat serius. Bila UU BHP dilaksakan, pengelolaan asset akan menjadi lebih mudah karena ada system operasional dan prosedur yang harus ditaati oleh semua pihak termasuk para pimpinan. Pelaksaan sisdur ini jelas akan membuat banyak pihak kehilangan sumber penghasilan yang dikategorikan negara sebagai tindak korupsi.

4. Pendidikan yang dikendalikan oleh pemilik modal.
Bayangkanlah, buka puasa kitapun telah dikendalikan oleh mie instant dan minuman energy. Demikian komentar ketakutan betapa ekonomi global telah merasuk ke setiap sendi kehidupan kita. Di Unhas mahasiswa memberi contoh pengelolaan sampah yang diserahkan ke PT. M. Mereka membayangkan hilangnya kemerdekaan kita karena akan digiring sesuai keinginan para pemilik modal. Contoh lain juga diberikan bagaimana produsen rokok S memberikan beasiswa ke mahasiswa, tetapi mahasiswa yang bersangkutan diwajibkan menggunakan baju bertuliskan S.

Sebagai institusi yang mendidik manusia dewasa, perguruan tinggi selalu dituntut berperan mewakili kepentingan masyarakat. Karena itu mahasiswa di belahan dunia manapun juga memiliki kepekaan dan citra yang sama bahwa merekalah yang akan berada di garis depan berhadapan dengan penguasa yang dianggap menciderai kepentingan tersebut. Posisi strategis sebagai insan merdeka juga diharapkan tampil secara jelas dalam aktifitas mereka di kampus, terutama yang berkaitan dengan gambaran kecerdasan dan kebebasan intelektual. Tidaklah mengherankan bahwa umumnya perguruan tinggi mengharamkan aparat keamanan yang diidentikkan dengan perpanjangan tangan penguasa masuk ke dalam kampus dengan alasan apapun. Hal yang sama juga terjadi pada yang berkaitan dengan keberpihakan politik apalagi ekonomi.

Besarnya jumlah mahasiswa dan ketatnya kompetisi pasar membuat perguruan tinggi selalu dilirik oleh pelaku ekonomi sebagai pasar yang sangat potensial untuk memasarkan produksi terutama yang rentan terhadap penurunan kualitas kesehatan seperti rokok atau minuman beralkohol. Dibungkus dengan judul “company social responsibility” produsen tidak segan-segan menjadi penyandang dana berbagai aktifitas kampus termasuk aktifitas mahasiswa. Belum ada rambu-rambu tegas yang mengatur kemana saja industry anti kesehatan ini boleh memasarkan produknya. Karena itu spanduk atau baliho yang berkaitan dengan produk mereka bertaburan di dalam kampus yang membuat kita tak berdaya dan bingung akan bertindak bagaimana terhadap gencarnya iklan mereka. Bahwa mahasiswa menyadari dan tidak ingin ditunggangi oleh kepentingan pemilik modal sungguh merupakan harapan yang sangat cerah bagi universitas bahwa suatu saat mahasiswa akan berani menolak bekerja sama dengan produsen yang dianggap berbahaya bagi proses pencerdasan bangsa.

Kemitraan adalah sebuah keniscayaan karena tak ada orang atau institusi yang bisa mencapai visi dan misinya tanpa bantuan pihak lain. Dengan fungsinya yang strategis, universitas bisa bekerja sama dengan pihak mana saja tanpa mengorbankan nilai moral yang diembannya. Pesan yang ingin disampaikan dalam menyumbang tempat sampah adalah mari membuang sampah di tempatnya, tidak boleh menjadi “lihatlah tempat sampah ini disumbang oleh PT.M”. Bila menyumbang jam universitas, maka fisik jamnya harus cukup memadai untuk memudahkan orang melihat pukul berapa saat ini dan bukan perhatiannya tersita oleh judul bank pembuat jam universitas. Bila ada event olah raga, yang harus ditampilkan jelas adalah aktifitas oleh raga itu, bukan umbul-umbul sponsor yang menutupi semua aktifitas utama.

Semua contoh-contoh tadi menunjukkan pada kita bahwa yang terjadi bukanlah kerja sama dalam mencapai visi dan misi universitas, melainkan menjadikan universitas sebagai pembuangan sampah visual yang merusak kualitas estetika fisik. Universitas membutuhkan kerja sama tetapi bukan menjadikan dirinya sebagai tempat promosi yang berefek pada penurunan kualitas kecerdasan. Universitas harus mampu menjaring maupun menyeleksi siapa yang pantas bekerja sama dengan kita dan tidak menggunakan falsafah “aji mumpung semua diembat” yang penting untung. Hal yang sama juga berlaku bagi kepentingan politik, menjaga jarak sehingga ruang universitas tidak dimanfaatkan untuk menunjukkan keberpihakan politik secara telanjang melalui media apa saja karena akan mencederai kepekaan, kemerdekaan intelektual dan kepercayaan yang diberikan masyarakat. Bila ini bisa terjaga baik oleh kita semua, polisi pasti tidak akan berani masuk kampus kita.

Empat hal utama yang menggelisahkan masyarakat yang telah diulas adalah persoalan nilai moral yang diemban institusi pendidikan tinggi apapun model organisasinya. Tanpa mengedepankan masalah ini, pendidikan tinggi cuma sekedar sebuah judul yang tidak mencerminkan isi yang ada di dalamnya, peka terhadap kepentingan masa depan kemanusiaan. Dengan atau tanpa BHP, semua nilai moral berkaitan dengan masalah-masalah tersebut wajib dijadikan tradisi yang dipelihara dengan baik.

Selamat Jalan Wimpie, Selamat Jalan Sahabat!

Sepanjang hari Selasa 7 Oktober 2008 cuaca terasa tidak nyaman karena mendung. Seharusnya hari ini Lantai 6 akan mengadakan rapat penting dengan pimpinan setelah libur Lebaran. Entah, mungkin sekedar faktor kebetulan, saya mengingatkan teman-teman bahwa yang bisa berbicara jernih soal manajemen adalah Wimpie. Selama ini bila kita berbicara soal manajemen, lebih banyak dengan gaya common sense semata. Hanya Wimpie yang dibekali ilmu khusus tentang pengetahuan itu. Kita semua tahu bahwa Wimpie kadang-kadang tidak sepakat dengan apa yang kita lakukan, tetapi Wimpie selalu punya cara untuk tidak berada pada posisi “kau-saya”. Hampir tidak ada yang merasa bahwa Wimpie lah yang dengan cara yang paling halus bisa menggerakkan staf rektorat untuk “terpaksa” juga membuat RKAT, yang selama ini dianggap cuma kewajiban fakultas.

Wimpie memang diam-diam selalu “dikorbankan” untuk mengerjakan tugas yang pasti sangat sulit dilakukan oleh kami. Wimpie juga yang selalu jelas menyatakan bahwa untuk manfaat yang baik, “sisdur” harus dibuat sendiri oleh pihak yang terkait. Tidak ada cerita bahwa sisdur dibuat oleh tim dan siap disuapkan pada pengguna. Dia bertahan dengan pendirian berbasis ilmu manajemen yang dimilikinya, sementara kita yang lain sering mulai ikut-ikutan tidak yakin bahwa itu bisa terlaksana. Wimpie pula yang dengan sabar membimbing staf asset dan memberi keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri.
Wimpie dengan ilmunya sebagai pendengar yang baik hampir tidak pernah kesulitan berkomunikasi dengan pegawai yang ingin maju.

Itulah Wimpie rekan dan sahabat kami, yang dengan terasa pilu harus kami ikhlaskan takdirnya menghadap Sang Pencipta di usia yang sangat produktif. Wimpie yang penuh belas kasih, seorang maestro spiritual. Yang di monitor notebooknya tertulis kata-kata emas Madame Teresa. Dia menjalankan aktifitas spritualnya melekat dengan kehidupan sehari-hari. “Jangan melakukan sesuatu pada orang lain hal-hal yang engkau tidak suka bila dilakukan padamu”, itu juga salah satu kalimat emas yang selalu dingatkan Wimpie pada kami teman-temannya. Jangan berhenti melakukan hal-hal yang baik hanya karena alasan kebaikan itu sulit diterima.

Suara Wimpie begitu indah. Menyanyikan lagu bersama dia bisa menciptakan rasa bahwa suara kami ternyata juga bagus. Dia pengumpan yang luar biasa memberi keberanian bagi orang awam untuk bernyanyi tanpa henti. Karena alasan itu pula maka Wimpie punya ruang gaul yang sangat luas, dari remaja hingga kalangan tua. Hanya sekian waktu setelah info kepergiannya, rumah tinggal Wimpie dipenuhi oleh berbagai kelompok manusia di Sulawesi Selatan, mulai kalangan kampus, pencinta musik, kelompok diskusi, kalangan politisi dan para remaja. Wimpie sedikit dari manusia yang bisa menembus semua lapisan batas pergaulan. Bahkan seorang calon walikota menjelaskan dengan terbuka bahwa Wimpie telah dilamar olehnya untuk menjadi Kadis Perdagangan.
Menurut si calon walikota, Wimpie sangat luar biasa dalam mengajar ilmu bisnis internasional. Bagi Wimpie tak ada murid yang bodoh! Tulisan-tulisan popular tentang manajemen yang dibuatnya bisa disampaikan dengan bahasa yang jernih dan mudah dimengerti menunjukkan kedalaman ilmu Wimpie.

“Sudah begitu lama kalian masih selalu menulis nama saya Wempy”, katanya mengomel sambil tersenyum setiap namanya ditulis salah. Nama lengkapnya memang aneh di telinga kami. Willem Joost Alexander Misero, orang baik yang mati muda! Selamat jalan Wimpie, selamat jalan sahabat dan guru kami. Mungkin kami akan rindu, tapi yakin tidak akan kehilangan karena kami tahu engkau selalu berada di antara kami yang senantiasa akan memanfaatkan ilmu yang telah engkau berikan.

Studi Banding

Studi Banding
Sumber Harian Kompas 26 November 2005

Anti Public Awareness (1)

Anti Public Awareness (1)

Anti Public Awareness (2)

Anti Public Awareness (2)

Anti Public Awareness (3)

Anti Public Awareness (3)

Anti Public Awareness (4)

Anti Public Awareness (4)

Buku Tamu

Pengunjung ke: