Rongga Kecil di Sebuah Bangunan Besar


Kelompok kerja yang terbangun bukan saja atas penugasan dari negara, melainkan juga karena kebutuhan sebagai suatu gerakan kecil untuk sebuah perubahan menuju komunitas masyarakat pembelajar lintas batas.

Ada banyak komunitas di lantai 6, tetapi banyak orang percaya seolah-olah inilah penghuni resmi, yang dipersepsikan sebagai:

1. Kumpulan para utopia.
2. Kumpulan orang-orang yang tidak jelas statusnya.
3. Kumpulan para pemikir yang sok cerdas.
4. Kumpulan orang-orang biasa yang ingin punya manfaat bagi bangsa dan negara.

Apapun persepsi yang melekat, ruang kecil di lantai 6 memiliki aura menggoda anggotanya untuk selalu rindu berkumpul, berdebat, berbagi ilmu, wawasan dan idea yang siap dimanfaatkan bagi mereka yang membutuhkan.


Renstra Unhas


Visi
Pusat Pengembangan Budaya Bahari.
Pengembangan budaya secara implisit berarti menciptakan ruang bagi pengembangan Ipteks (Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni) yang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dianut.

Misi
a. Menghasilkan alumni yang mandiri, berahlak dan berwawasan global.
b. Mengembangkan Ipteks yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya.
c. Mempromosikan dan mendorong terwujudnya nilai-nilai bahari dalam masyarakat.

Nilai
Unhas menganut sistem nilai yang menjamin kebebasan pengembangan diri yang adaptif-kreatif terhadap keserbautuhan wawasannya, terhadap kebermanfaatan perannya, dan terhadap perilaku keberbagian keberadaannya. mengupayakan perbaikan dan penyempurnaan dalam melaksanakan misi.

Tujuan
a. Berperan sebagai pusat konservasi dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang unggul;
b. Mewujudkan kampus sebagai masyarakat akademik yang handal yang didukung oleh budaya ilmiah yang mengacu kepada nilai-nilai Unhas;
c. Mengembangkan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang relevan dengan tujuan pembangunan nasional dan daerah melalui penyelenggaraan program-program studi, penelitian, pembinaan kelembagaan, serta pengembangan sumberdaya manusia akademik yang berdaya guna dan hasil guna;
d. Mewujudkan Unhas sebagai universitas penelitian (research university);
e. Meningkatkan mutu fasilitas, prasarana, sarana dan teknologi serta mewujudkan suasana akademik yang kondusif serta bermanfaat bagi masyarakat untuk mendukung terwujudnya misi universitas;
f. Meningkatkan produktivitas dan kualitas luaran, khususnya yang berkaitan dengan kebutuhan pembangunan dan dunia usaha;
g. Memupuk dan mengembangkan kerjasama kemitraan dengan sektor eksternal khususnya pemerintah, dunia usaha dan industri serta dengan perguruan tinggi dan lembaga-lembaga Ipteks lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri.

Selengkapnya >>>


Minggu, 18 Januari 2009

Benarkah Yang Mereka Tolak Adalah UU BHP?

Baru-baru ini Tim Perencanaan dan Pengembangan Unhas diundang oleh salah satu BEM Fakultas untuk berdiskusi tentang BHP di aula Baharuddin Lopa. Seperti layaknya rencana sebuah diskusi, sebelum pertemuan tim berusaha mempersiapkan diri untuk mempelajari berbagai sisi dari BHP dan kondisi Unhas dalam menghadapi UU tersebut. Sayang sekali karena tim merasa terjebak sebab acara yang digagas oleh BEM tersebut adalah acara penolakan UU BHP dan bukan acara diskusi. BEM tersebut juga mengundang beberapa pembicara lain yang memang diminta berbicara “pokoknya tolak UU BHP”. Mengapa tim merasa terjebak? Sebab menolak atau menerima UU BHP bukanlah dalam wewenang Tim PP, melainkan keputusan Senat Universitas. Sehingga jika mahasiswa ingin mengundang Tim PP untuk masuk dalam kegiatan yang bertema “Menolak UU BHP”, maka undangan itu benar-benar salah alamat. Tim PP bukan bagian dari jaringan kekuasaan sehingga tidak memiliki kompetensi berbicara di ranah politik.

Walaupun merasa sangat kecewa dengan sikap BEM yang cenderung kurang jujur dalam memberikan informasi tentang materi acara, Tim PP berusaha merekam apa saja hal-hal yang dianggap negative yang membuat sekelompok masyarakat terutama mahasiswa bersikeras “pokoknya menolak UU BHP” ini . Dari orasi yang dikemukakan oleh para pembicara yang diundang, secara garis besar hal-hal yang ditolak terutama berkisar pada masalah:
1. Mandiri vs Nirlaba
2. Kekuasaan rektor yang akan semakin besar
3. Komersialisasi pendidikan
4. Pendidikan yang berada dalam kendali pemilik modal.

1. Mandiri vs Nirlaba
Mahasiswa tidak percaya terhadap pernyataan dalam UU BHP bahwa badan hukum pendidikan adalah institusi nirlaba, termasuk tidak percaya bahwa keuntungan yang didapat wajib ditanamkan kembali untuk kepentingan pendidikan. Bagi mahasiswa prinsip nirlaba dan mandiri yang ada dalam UU BHP adalah dua hal yang bertentangan. Nirlaba artinya tidak mencari keuntungan, sedangkan mandiri artinya harus berusaha sendiri.

Masalah nirlaba memang harus dijabarkan, ditegaskan dan dikumandangkan dengan baik terutama oleh PTS yang pemilik yayasannya adalah swasta. Selama ini yayasan memang memainkan peran penting untuk mengatur pengelolaan keuangan institusi pendidikan mereka, sehingga sering kita dengar adanya pertentangan yang sangat keras antara pihak manajemen pendidikan yang membutuhkan biaya optimal bagi kualitas pendidikan yang baik, dengan pihak yayasan yang berusaha menekan biaya pendidikan seminimal mungkin dan meraih keuntungan sebesar-besarnya.

Bagi Unhas yang PTN, pemiliknya jelas adalah pemerintah yang dari dulu prinsip aktifitasnya adalah nirlaba sehingga masalah nirlaba lebih banyak dikaji dari ketakutan terhadap kegairahan pimpinan mengomersilkan universitas antara lain mencari biaya pendidikan melalui kemitraan yang akan mengambil hak kelompok miskin atau memanfaatkan kepentingan pemilik modal yang berujung pada pengendalian kebebasan universitas oleh mereka.

2. Kekuasaan rektor yang akan semakin besar.
Selama ini kekuasaan tertinggi universitas berada pada Senat Universitas dan bukan pada rektor. Dalam UU BHP, kekuasaan tertinggi akan berada pada pemangku kepentingan yang terdiri dari pendiri atau wakil pendiri yang dalam hal PTN adalah Menteri Pendidikan, wakil organ representasi pendidik, pemimpin organ pengelola pendidikan, wakil tenaga kependidikan dan wakil unsur masyarakat yang salah satunya adalah wakil mahasiswa.

Hal yang penting dalam UU BHP adalah bahwa walaupun juga duduk dalam organ representasi pemangku kepentingan, pemimpin organ pengelola pendidikan dalam hal ini rektor, tidak memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan (Pasal 18 ayat 5). Artinya rektor hanya menjalankan fungsi sebagai manajer pelaksana kegiatan. Dengan demikian bila berbicara soal siapa yang diuntungkan atau dirugikan, maka yang paling dirugikan adalah rektor yang kewenangannya akan diatur dan dibatasi oleh pemangku kepentingan termasuk oleh wakil mahasiswa, tidak seperti kewenangan yang ada sebelum BHP.

Kegalauan mahasiswa tentang semakin besarnya ancaman pemecatan oleh universitas bila berbeda pendapat dengan pimpinan sehingga menutup ruang apresiasi mahasiswa seperti yang dicontohkan pada kasus pemecatan 25 orang mahasiswa baru-baru ini, justru dapat disuarakan dalam forum pemangku kepentingan. Di forum ini seluruh wakil pemangku kepentingan termasuk mahasiswa dapat membuat rumusan tentang hak dan kewajiban warga universitas, termasuk kapan dan bilamana seseorang warga pantas dipecat. Bandingkan dengan kekuasaan Senat Universitas yang tidak memiliki ruang bagi wakil mahasiswa untuk bersuara.

3. Komersialisasi Pendidikan
Otonomi atau kemandirian yang dimiliki oleh institusi pendidikan ditakutkan akan menutup akses bagi orang miskin atau mereka yang tidak mampu untuk masuk ke perguruan tinggi. Pasal 41 ayat 8 menyatakan bahwa biaya penyelenggaraan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 7 yang ditanggung oleh seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan menengah berstandar pelayanan minimal untuk mencapai standar nasional pendidikan pada BHPP atau BHPPD paling banyak 1/3 (sepertiga) dari biaya operasional.

Salah seorang pembicara utama yang menolak UU BHP langsung menghitung bahwa SPP mahasiswa Unhas akan menjadi 1/3 dari Rp. 18.000.000,- atau Rp. 6.000.000,- masih lebih mahal dari PTS seperti Unpar yang hanya memungut Rp. 4.000.000,-. UU BHP menyatakan 1/3 adalah paling banyak. Artinya universitas punya ruang untuk menentukan berapa yang maksimal bagi Unhas. sepanjang tidak menyalahi ketentuan maksimal 1/3 tersebut. Unhas bisa menentukan dari gratis hingga 1/3 yang disesuaikan dengan konteks Unhas, melalui forum pemangku kepentingan.

Selama ini biaya kemitraan memang menjadi salah satu masalah yang menggelisahkan kita semua, bukan saja persoalan pada mahalnya biaya yang harus dibayar, melainkan juga siapa yang berhak menikmati fasilitas tersebut. Ketika kemitraan digagas pertama kali, persoalan nilai moral dituntut untuk dikedepankan sebagai pengendali kebijakan, yang diharapkan tidak akan sampai membuat Unhas mengorbankan hak masyarakat yang cerdas kepada mereka yang kaya tapi memiliki kualitas kecerdasan yang tidak memadai untuk masuk ke perguruan tinggi. Karena alasan tersebut, maka syarat pertama dari kemitraan tetap adalah tingkat kecerdasan. Setelah syarat tersebut dipenuhi barulah diikuti dengan pembukaan usulan sumbangan yang diberikan oleh calon mahasiswa kemitraan. Berapa banyak jumlah mahasiswa yang dijaring melalui kemitraan sehingga tidak mengambil hak mereka yang masuk lewat seleksi regular UMPTN juga menjadi masalah krusial. Jumlah ini tetap harus berada dalam kendali nilai moral untuk menghindari system kebodohan terstruktur karena pendidikan hanya bisa diakses mayoritas orang kaya, kapanpun, apakah Unhas menjadi BHP atau tidak.

Kembali ke pembicara tadi, yang bersangkutan mengungkapkan puijiannya kepada fasilitas dan system pendidikan yang ada di di sebuah fakultas dibanding dengan fakultas-fakultas lain di Unhas yang tidak punya kesibukan sehingga banyak waktu yang dimanfaatkan untuk tawuran. Sayang sekali harapan bahwa beliau seharusnya tidak ambigu tetapi juga mendalami apa yang menyebabkan fasilitas tersebut jauh lebih baik dibanding fakultas yang lain. Penyebabnya karena selain jumlah mahasiswa kemitraannya yang sangat besar, juga perhatian yang lebih banyak dari pimpinan untuk fakultas tersebut. Masalah inilah yang bila tidak ditelaah dengan hati-hati, akan membuat kesenjangan antara fakultas yang satu dengan yang lain, yang bisa berpotensi pada ketidak harmonisan Unhas sebagai suatu entitas. Idealnya seluruh unit kerja mendapat perlakuan yang adil dan berimbang, sehingga dalam dunia pendidikan tidak dikenal unit kerja berlahan subur atau gersang. Dengan demikian perkembangan hasil luaran kita dari berbagai bidang ilmu juga bisa dirancang berkualitas setara.

Komersialisasi juga dinyatakan mahasiswa pada terbatasnya kebebasan pemanfaatan fasilitas universitas seperti yang dicontohkan pada penggunaan Asrama Mahasiswa atau Auditorium (Baruga). Ketakutan ini dianggap akan semakin menjadi-jadi bila Unhas menjadi BHP.
Adalah realitas bahwa sistem pengelolaan asset di Unhas memang termasuk salah satu masalah manajemen yang paling krusial di antara berbagai masalah lainnya seperti keuangan maupun SDM. Dari penelitian yang dilakukan sejak tahun 2004, diketahui bahwa optimalisasi pemanfaatan asset Unhas hanya 52% jauh dari standar pengelolaan asset yang sehat yaitu minimal 80%. Banyak asset Unhas yang tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal dikarenakan tingginya tingkat kekuasaan di unit-unit kerja yang tidak menganggap asset yang dikelola sebagai milik universitas, melainkan sebagai milik unit kerja sehingga tidak boleh digunakan unit lain tanpa imbal jasa biaya pemakaian. Alasan utama adalah universitas tidak memberikan biaya pemeliharaan yang memadai, sehingga bila terjadi kerusakan fasilitas maka yang akan dirugikan adalah unit kerja. Akibat dari tidak efisiennya penggunaan asset ini pastilah berdampak pada tingginya biaya operasional proses pembelajaran yang ujung-ujungnya juga akan menjadi beban peserta didik.

Di sisi lain, banyak fakta yang kita temukan bahwa asset Unhas telah dikomersilkan untuk kepentingan mendapatkan keuntungan pribadi oleh staf Unhas dari tingkat pimpinan hingga satpam maupun pengurus lembaga kemahasiswaan. Contoh ini dapat dilihat pada pemanfaatan aliran listrik untuk bisnis foto copy yang tarifnya jauh lebih mahal dari tariff standard oleh berbagai oknum dan dananya dinikmati untuk kepentingan pribadi. Komersialisasi fasilitas Unhas juga terlihat pada pemanfaatan fasilitas oleh pihak di luar Unhas dengan mengatas namakan orang Unhas termasuk staf maupun mahasiswa.

Kebijakan asset yang dirancang melalui aktifitas perbaikan manajemen yang dibiayai I-Mhere sudah menekankan bahwa semua fasilitas Unhas yang mendukung aktifitas utama mahasiswa seperti asrama mahasiswa, fasilitas olah raga, kantin, bukanlah asset yang pantas dikomersilkan sebagai sumber dana universitas. Alasannya adalah bahwa uang yang akan diterima Unhas melalui komersialisasi tersebut tidak akan pernah membuat Unhas menjadi kaya, bahkan sebaliknya hanya akan menghambat proses pembelajaran karena menyusahkan mahasiswa. Hanya bagaimana mengelola asset tersebut sehingga kualitasnya tetap terpelihara tanpa membebani biaya bagi mahasiswa harus dianalisis dengan sangat serius. Bila UU BHP dilaksakan, pengelolaan asset akan menjadi lebih mudah karena ada system operasional dan prosedur yang harus ditaati oleh semua pihak termasuk para pimpinan. Pelaksaan sisdur ini jelas akan membuat banyak pihak kehilangan sumber penghasilan yang dikategorikan negara sebagai tindak korupsi.

4. Pendidikan yang dikendalikan oleh pemilik modal.
Bayangkanlah, buka puasa kitapun telah dikendalikan oleh mie instant dan minuman energy. Demikian komentar ketakutan betapa ekonomi global telah merasuk ke setiap sendi kehidupan kita. Di Unhas mahasiswa memberi contoh pengelolaan sampah yang diserahkan ke PT. M. Mereka membayangkan hilangnya kemerdekaan kita karena akan digiring sesuai keinginan para pemilik modal. Contoh lain juga diberikan bagaimana produsen rokok S memberikan beasiswa ke mahasiswa, tetapi mahasiswa yang bersangkutan diwajibkan menggunakan baju bertuliskan S.

Sebagai institusi yang mendidik manusia dewasa, perguruan tinggi selalu dituntut berperan mewakili kepentingan masyarakat. Karena itu mahasiswa di belahan dunia manapun juga memiliki kepekaan dan citra yang sama bahwa merekalah yang akan berada di garis depan berhadapan dengan penguasa yang dianggap menciderai kepentingan tersebut. Posisi strategis sebagai insan merdeka juga diharapkan tampil secara jelas dalam aktifitas mereka di kampus, terutama yang berkaitan dengan gambaran kecerdasan dan kebebasan intelektual. Tidaklah mengherankan bahwa umumnya perguruan tinggi mengharamkan aparat keamanan yang diidentikkan dengan perpanjangan tangan penguasa masuk ke dalam kampus dengan alasan apapun. Hal yang sama juga terjadi pada yang berkaitan dengan keberpihakan politik apalagi ekonomi.

Besarnya jumlah mahasiswa dan ketatnya kompetisi pasar membuat perguruan tinggi selalu dilirik oleh pelaku ekonomi sebagai pasar yang sangat potensial untuk memasarkan produksi terutama yang rentan terhadap penurunan kualitas kesehatan seperti rokok atau minuman beralkohol. Dibungkus dengan judul “company social responsibility” produsen tidak segan-segan menjadi penyandang dana berbagai aktifitas kampus termasuk aktifitas mahasiswa. Belum ada rambu-rambu tegas yang mengatur kemana saja industry anti kesehatan ini boleh memasarkan produknya. Karena itu spanduk atau baliho yang berkaitan dengan produk mereka bertaburan di dalam kampus yang membuat kita tak berdaya dan bingung akan bertindak bagaimana terhadap gencarnya iklan mereka. Bahwa mahasiswa menyadari dan tidak ingin ditunggangi oleh kepentingan pemilik modal sungguh merupakan harapan yang sangat cerah bagi universitas bahwa suatu saat mahasiswa akan berani menolak bekerja sama dengan produsen yang dianggap berbahaya bagi proses pencerdasan bangsa.

Kemitraan adalah sebuah keniscayaan karena tak ada orang atau institusi yang bisa mencapai visi dan misinya tanpa bantuan pihak lain. Dengan fungsinya yang strategis, universitas bisa bekerja sama dengan pihak mana saja tanpa mengorbankan nilai moral yang diembannya. Pesan yang ingin disampaikan dalam menyumbang tempat sampah adalah mari membuang sampah di tempatnya, tidak boleh menjadi “lihatlah tempat sampah ini disumbang oleh PT.M”. Bila menyumbang jam universitas, maka fisik jamnya harus cukup memadai untuk memudahkan orang melihat pukul berapa saat ini dan bukan perhatiannya tersita oleh judul bank pembuat jam universitas. Bila ada event olah raga, yang harus ditampilkan jelas adalah aktifitas oleh raga itu, bukan umbul-umbul sponsor yang menutupi semua aktifitas utama.

Semua contoh-contoh tadi menunjukkan pada kita bahwa yang terjadi bukanlah kerja sama dalam mencapai visi dan misi universitas, melainkan menjadikan universitas sebagai pembuangan sampah visual yang merusak kualitas estetika fisik. Universitas membutuhkan kerja sama tetapi bukan menjadikan dirinya sebagai tempat promosi yang berefek pada penurunan kualitas kecerdasan. Universitas harus mampu menjaring maupun menyeleksi siapa yang pantas bekerja sama dengan kita dan tidak menggunakan falsafah “aji mumpung semua diembat” yang penting untung. Hal yang sama juga berlaku bagi kepentingan politik, menjaga jarak sehingga ruang universitas tidak dimanfaatkan untuk menunjukkan keberpihakan politik secara telanjang melalui media apa saja karena akan mencederai kepekaan, kemerdekaan intelektual dan kepercayaan yang diberikan masyarakat. Bila ini bisa terjaga baik oleh kita semua, polisi pasti tidak akan berani masuk kampus kita.

Empat hal utama yang menggelisahkan masyarakat yang telah diulas adalah persoalan nilai moral yang diemban institusi pendidikan tinggi apapun model organisasinya. Tanpa mengedepankan masalah ini, pendidikan tinggi cuma sekedar sebuah judul yang tidak mencerminkan isi yang ada di dalamnya, peka terhadap kepentingan masa depan kemanusiaan. Dengan atau tanpa BHP, semua nilai moral berkaitan dengan masalah-masalah tersebut wajib dijadikan tradisi yang dipelihara dengan baik.

Selamat Jalan Wimpie, Selamat Jalan Sahabat!

Sepanjang hari Selasa 7 Oktober 2008 cuaca terasa tidak nyaman karena mendung. Seharusnya hari ini Lantai 6 akan mengadakan rapat penting dengan pimpinan setelah libur Lebaran. Entah, mungkin sekedar faktor kebetulan, saya mengingatkan teman-teman bahwa yang bisa berbicara jernih soal manajemen adalah Wimpie. Selama ini bila kita berbicara soal manajemen, lebih banyak dengan gaya common sense semata. Hanya Wimpie yang dibekali ilmu khusus tentang pengetahuan itu. Kita semua tahu bahwa Wimpie kadang-kadang tidak sepakat dengan apa yang kita lakukan, tetapi Wimpie selalu punya cara untuk tidak berada pada posisi “kau-saya”. Hampir tidak ada yang merasa bahwa Wimpie lah yang dengan cara yang paling halus bisa menggerakkan staf rektorat untuk “terpaksa” juga membuat RKAT, yang selama ini dianggap cuma kewajiban fakultas.

Wimpie memang diam-diam selalu “dikorbankan” untuk mengerjakan tugas yang pasti sangat sulit dilakukan oleh kami. Wimpie juga yang selalu jelas menyatakan bahwa untuk manfaat yang baik, “sisdur” harus dibuat sendiri oleh pihak yang terkait. Tidak ada cerita bahwa sisdur dibuat oleh tim dan siap disuapkan pada pengguna. Dia bertahan dengan pendirian berbasis ilmu manajemen yang dimilikinya, sementara kita yang lain sering mulai ikut-ikutan tidak yakin bahwa itu bisa terlaksana. Wimpie pula yang dengan sabar membimbing staf asset dan memberi keyakinan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri.
Wimpie dengan ilmunya sebagai pendengar yang baik hampir tidak pernah kesulitan berkomunikasi dengan pegawai yang ingin maju.

Itulah Wimpie rekan dan sahabat kami, yang dengan terasa pilu harus kami ikhlaskan takdirnya menghadap Sang Pencipta di usia yang sangat produktif. Wimpie yang penuh belas kasih, seorang maestro spiritual. Yang di monitor notebooknya tertulis kata-kata emas Madame Teresa. Dia menjalankan aktifitas spritualnya melekat dengan kehidupan sehari-hari. “Jangan melakukan sesuatu pada orang lain hal-hal yang engkau tidak suka bila dilakukan padamu”, itu juga salah satu kalimat emas yang selalu dingatkan Wimpie pada kami teman-temannya. Jangan berhenti melakukan hal-hal yang baik hanya karena alasan kebaikan itu sulit diterima.

Suara Wimpie begitu indah. Menyanyikan lagu bersama dia bisa menciptakan rasa bahwa suara kami ternyata juga bagus. Dia pengumpan yang luar biasa memberi keberanian bagi orang awam untuk bernyanyi tanpa henti. Karena alasan itu pula maka Wimpie punya ruang gaul yang sangat luas, dari remaja hingga kalangan tua. Hanya sekian waktu setelah info kepergiannya, rumah tinggal Wimpie dipenuhi oleh berbagai kelompok manusia di Sulawesi Selatan, mulai kalangan kampus, pencinta musik, kelompok diskusi, kalangan politisi dan para remaja. Wimpie sedikit dari manusia yang bisa menembus semua lapisan batas pergaulan. Bahkan seorang calon walikota menjelaskan dengan terbuka bahwa Wimpie telah dilamar olehnya untuk menjadi Kadis Perdagangan.
Menurut si calon walikota, Wimpie sangat luar biasa dalam mengajar ilmu bisnis internasional. Bagi Wimpie tak ada murid yang bodoh! Tulisan-tulisan popular tentang manajemen yang dibuatnya bisa disampaikan dengan bahasa yang jernih dan mudah dimengerti menunjukkan kedalaman ilmu Wimpie.

“Sudah begitu lama kalian masih selalu menulis nama saya Wempy”, katanya mengomel sambil tersenyum setiap namanya ditulis salah. Nama lengkapnya memang aneh di telinga kami. Willem Joost Alexander Misero, orang baik yang mati muda! Selamat jalan Wimpie, selamat jalan sahabat dan guru kami. Mungkin kami akan rindu, tapi yakin tidak akan kehilangan karena kami tahu engkau selalu berada di antara kami yang senantiasa akan memanfaatkan ilmu yang telah engkau berikan.

Studi Banding

Studi Banding
Sumber Harian Kompas 26 November 2005

Anti Public Awareness (1)

Anti Public Awareness (1)

Anti Public Awareness (2)

Anti Public Awareness (2)

Anti Public Awareness (3)

Anti Public Awareness (3)

Anti Public Awareness (4)

Anti Public Awareness (4)

Buku Tamu

Pengunjung ke: