Diskusi akhir pekan Jumat, 15 Agustur 2008 dengan David Williams difokuskan pada otonomi universitas dan peran pimpinan dalam menghela sebuah perubahan. David menganalogikan otonomi dengan situasi dimana seorang anak yang yang merasa sudah dewasa, mampu bertanggungjawab dan ingin lepas merdeka dari kekangan orang tuanya. Di sisi lain, orang tua merasa anaknya belum mampu untuk merdeka bertanggungjawab bagi dirinya sendiri. Anak itulah universitas, sedangkan orang tua adalah pemerintah.
Diskusi dengan David hari ini membuat kami tersenyum kecil, karena kami merasa "deja vu", baik suasana maupun topik yang mengingatkan suasana empat-lima tahun yang lalu. Pandangan-pandangan David mirip kalau tidak mau dikatakan persis dengan pandangan Mappadjantji. Bedanya hanya David selalu menekankan pada pilihan "mengantisipasi perubahan yang bakal terjadi", sedangkan Mappadjantji lebih jauh menganjurkan untuk " mengkreasikan perubahan dan tidak menjadi sekedar pengikut". Entah siapa yang nyontek siapa atau siapa yang lebih dulu membaca buku atau sama-sama punya kemampuan melihat ke depan. Artinya bahwa terbukti pandangan beberapa orang Unhas untuk masa depan universitas ini tidak tertinggal dibanding dengan pandangan dunia luar.
Meskipun tema diskusi yang diagendakan adalah otonomi universitas, namun diskusi akhirnya lebih fokus pada manajemen perubahan. Ketika otonomi menjadi sebuah keniscayaan --apakah karena UU menghendaki demikian (instrumental), atau dinamika lingkungan strategis yang memaksa harus otonomi (environmental), maka issunya bukan lagi pada perlu atau tidaknya otonomi tetapi bergeser menjadi bagaimana mengelola perubahan (change management).
Dalam mengelola perubahan, kata David, harus dimulai dari pimpinan. Keinginan untuk berubah itu selanjutnya perlu ditularkan ke seluruh anggota organisasi. Mappadjantji sering menyebutnya dengan harus terbentuk "medan visioner" di lingkungan seluruh anggotam organisasi agar semua terorientasi mendukung visi atau target perubahan yang ingin dicapai. Dalam melakukan aktivitas menuju pencpaian target, pimpinan harus "lead" di depan. Jadi, sungguh-sungguh menjadi "leader".
Salah satu point penting yang disampaikan oleh David adalah tidak semua hal harus dikompromikan. Dia memberi contoh bagaimana Rektor UNSW pada hari ke-lima dia berkantor, memanggil dua dekan, dan menyampaikan rencananya menggabungkan AGSM (Australian Graduate School School in Management) dan Faculty of Economics and Commerce (FEC) menjadi satu unit. Kedua dekan ini tentu saja tidak setuju, mengingat AGSM telah memiliki segalanya sebagai salah satu sekolah manajemen terbaik di Australia. Tetapi, sang Rektor tetap bersikukuh dengan rencananya. Fred Hilmer, si Rektor mengatakan "this my way to lead, you may come along with me or leave it". Bersama dengan timnya, dia segera memimpin penyusunan langkah-langkah strategis dan implementation plan penggabungan dan mensosialisasikan keuntungan-keuntungan penggabungan tersebut. Tidak cukup setahun setelah penggabungan itu, program manajemen di NSW telah direcognize oleh International Bussiness Association sebagai salah satu yang terbaik di dunia dan mampu menyerap tambahan dana dari dunia bisnis sebesar 700 juta USD.
Contoh di atas tentu tidak ingin menafikan pentingngya dialog dan partisipasi dalam merumuskan visi dan membangun komitmen bersama. Point yang ingin ditegaskan adalah bahwa untuk sebuah perubahan dibutuhkan pemimpin yang tidak saja mengumandangkan dengan lantang ke arah mana tujuan organisasi, tetapi juga berdiri di depan menunjukkan jalan yang harus diikuti.(rp)